Judul: Puncak Makrifat Jawa; Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram.
Penulis: Muhaji Fikriono
Editor: Abdullah Wong
Pengantar: Radhar Panca Dahana
Penerbit: Noura Books (Mizan Group)
Ukuran: 15 x 23 cm, 474 halaman.
Cetakan I, Juli 2012
Harga: Rp 86.000,-
PUNCAK MAKRIFAT JAWA
Bersahabat dengan Reribed (Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram)
Pengetahuan atau ilmu merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia sebagaimana makanan dan minuman atau udara dalam melangsungkan hidup dan kehidupan. Secara substansial, pengetahuan manusia sesungguhnya tidak terbatas. Karena pada saat manusia tidak mengetahui sekalipun, ternyata manusia masih bisa mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui. Karena sifatnya yang tak terbatas itu, maka pengetahuan sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh apa dan siapa pun. Dalam hal ini pengetahuan tidak bisa dibatasi oleh ideologi, filsafat, moralitas, bahkan agama sekalipun.
Maka perlu ditegaskan kepada sidang pembaca, bahwa pengetahuan yang dibahas dalam buku ini sama sekali bukan pengetahuan agama, mistisisme, aliran filsafat, aliran kepercayaan, dan bukan pula budi pekerti atau etika yang menganjurkan dan melarang tingkah laku tertentu. Pengetahuan yang didedah dalam buku ini lebih merupakan hasil dari memahami dan mengalami sesuatu yang benar-benar telah diketahui.
Di sinilah sosok Ki Ageng Suryomentaram memberikan satu pencerahan. Bahkan untuk mengalami dan demi mendapatkan pengetahuan yang utuh itu, ia menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan selama kurang lebih 40 tahun. Ki Ageng Suryomentaram yang dilahirkan pada 20 Mei 1892 adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ki Ageng meninggal pada 18 Maret 1962, di Yogyakarta. Seperti halnya tokoh sufi Ibrahim Ibnu Adham dan Sidharta Gautama, Ki Ageng Suryomentaram juga mengalami kegelisahan batin yang mendalam meskipun ia hidup di dalam keraton. Ia pun kabur dan menyamar sebagai rakyat jelata dan mengganti namanya, Natadangsa.
Selama pengembaraan dan tirakatnya itulah berbagai temuan dan pencerahan ia dapatkan. Dari berbagai karya dan tulisannya, satu diantaranya adalah Buku ‘Langgar’.
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, obyek pengetahuan yang benar-benar dapat kita ketahui ada dua macam. Pertama, obyek pengetahuan yang hanya bisa diketahui secara menyeluruh atau utuh (Barang Asal). Sesuatu yang utuh (mutlak) tentu saja tak cukup dipahami hanya dengan indera, tak cukup dihitung secara matematis, tak cukup dibagi secara parsial, terlebih dikotak dalam imaji ruang-waktu. Bukankah kemutlakan itu “mengatasi” semua dualitas bahkan keragaman yang selama ini hadir dalam pikiran manusia?
Kedua, adalah obyek pengetahuan yang bisa diperinci atau dapat dihitung dan dibagi-bagi. Tentu saja obyek ini merupakan derivasi dari Barang Asal. Obyek pengetahuan yang kedua ini oleh Ki Ageng disebut sebagai Barang Jadi atau sesuatu yang diadakan (dumadi atau maujud). Sifat dasar dari Barang Jadi adalah kebalikan dari Barang Asal, yakni dapat dihitung, selalu terikat ruang-waktu, dan bisa diindera.
Karena Barang Jadi dapat mengada sebab adanya Barang asal, maka Barang Asal boleh dibilang sebagai Yang Mewujudkan Barang Jadi. Pengetahuan yang berkaitan dengan Barang Asal inilah yang kemudian disebut sebagai pokok ilmu pengetahuan. Menurut Ki Ageng, cara mendapatkan ilmu Barang Asal, sangat berbeda bahkan berlawanan dengan cara memikirkan ilmu Barang Jadi. Mendapatkan ilmu Barang Asal tidak memerlukan pertanyaan berapa, bagaimana, kenapa, kapan, dan di mana.
Itulah diantara prinsip-prinsip pengetahun temuan Ki Ageng Suryomentaram yang tertuang dalam Buku ‘Langgar’, sebuah buku yang berisi kumpulan surat dan catatan-catatan Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis dari tahun 1920 hingga 1928. Langgar sendiri adalah nama lain dari musholla, yakni tempat yang biasa digunakan Ki Ageng selama menuliskan risalahnya.
Buku ‘Langgar’ yang semula berbahasa Jawa ini kemudian diterjemahkan dan diberikan penjelasan secara mendalam oleh Muhaji Fikriono. Dalam hal ini, Muhaji Fikriono memberi kesempatan kepada pembaca untuk menelusuri lebih jauh perenungan dan temuan-temuan Ki Ageng. Sebelumnya, Muhaji Fikriono menulis buku ‘Makrifat Jawa untuk Semua’ yang lebih merupakan pengantar atas perenungan Ki Ageng Suryomentaram.
Maka, dalam buku ini Muhaji yang juga pernah menulis ‘Hikam untuk Semua’ secara tekun dan penuh penghayatan mencoba menelusuri relung-relung pengetahuan Ki Ageng Suryomentaram dengan lebih mendalam.
Kehadiran ‘Risalah’ Ki Ageng yang kemudian diberi judul Puncak Makrifat Jawa ini semakin menarik dikaji karena diapresiasi oleh seseorang yang memiliki latar belakang tradisi pesantren yang ketat sekaligus pengalaman hidup yang getir dan dilematis.
Tak heran, bila pertemuan Aji—demikian ia akrab disapa—dengan khasanah Ki Ageng Suryomentaram seakan menempatkan dirinya sebagai “murid” yang bertemu “Guru”. Bahkan dalam buku ini pula, penulis menyejajarkan sosok Guru Ageng Suryomentaram dengan sosok Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi, karena kejeniusan Ki Ageng dalam mengeksplorasi dan mengelaborasi khasanah jiwa manusia (Kawruh Jiwa). [editor]***
Pengetahuan atau ilmu merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia sebagaimana makanan dan minuman atau udara dalam melangsungkan hidup dan kehidupan. Secara substansial, pengetahuan manusia sesungguhnya tidak terbatas. Karena pada saat manusia tidak mengetahui sekalipun, ternyata manusia masih bisa mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui. Karena sifatnya yang tak terbatas itu, maka pengetahuan sesungguhnya tidak bisa dibatasi oleh apa dan siapa pun. Dalam hal ini pengetahuan tidak bisa dibatasi oleh ideologi, filsafat, moralitas, bahkan agama sekalipun.
Maka perlu ditegaskan kepada sidang pembaca, bahwa pengetahuan yang dibahas dalam buku ini sama sekali bukan pengetahuan agama, mistisisme, aliran filsafat, aliran kepercayaan, dan bukan pula budi pekerti atau etika yang menganjurkan dan melarang tingkah laku tertentu. Pengetahuan yang didedah dalam buku ini lebih merupakan hasil dari memahami dan mengalami sesuatu yang benar-benar telah diketahui.
Di sinilah sosok Ki Ageng Suryomentaram memberikan satu pencerahan. Bahkan untuk mengalami dan demi mendapatkan pengetahuan yang utuh itu, ia menjadikan dirinya sebagai kelinci percobaan selama kurang lebih 40 tahun. Ki Ageng Suryomentaram yang dilahirkan pada 20 Mei 1892 adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ki Ageng meninggal pada 18 Maret 1962, di Yogyakarta. Seperti halnya tokoh sufi Ibrahim Ibnu Adham dan Sidharta Gautama, Ki Ageng Suryomentaram juga mengalami kegelisahan batin yang mendalam meskipun ia hidup di dalam keraton. Ia pun kabur dan menyamar sebagai rakyat jelata dan mengganti namanya, Natadangsa.
Selama pengembaraan dan tirakatnya itulah berbagai temuan dan pencerahan ia dapatkan. Dari berbagai karya dan tulisannya, satu diantaranya adalah Buku ‘Langgar’.
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, obyek pengetahuan yang benar-benar dapat kita ketahui ada dua macam. Pertama, obyek pengetahuan yang hanya bisa diketahui secara menyeluruh atau utuh (Barang Asal). Sesuatu yang utuh (mutlak) tentu saja tak cukup dipahami hanya dengan indera, tak cukup dihitung secara matematis, tak cukup dibagi secara parsial, terlebih dikotak dalam imaji ruang-waktu. Bukankah kemutlakan itu “mengatasi” semua dualitas bahkan keragaman yang selama ini hadir dalam pikiran manusia?
Kedua, adalah obyek pengetahuan yang bisa diperinci atau dapat dihitung dan dibagi-bagi. Tentu saja obyek ini merupakan derivasi dari Barang Asal. Obyek pengetahuan yang kedua ini oleh Ki Ageng disebut sebagai Barang Jadi atau sesuatu yang diadakan (dumadi atau maujud). Sifat dasar dari Barang Jadi adalah kebalikan dari Barang Asal, yakni dapat dihitung, selalu terikat ruang-waktu, dan bisa diindera.
Karena Barang Jadi dapat mengada sebab adanya Barang asal, maka Barang Asal boleh dibilang sebagai Yang Mewujudkan Barang Jadi. Pengetahuan yang berkaitan dengan Barang Asal inilah yang kemudian disebut sebagai pokok ilmu pengetahuan. Menurut Ki Ageng, cara mendapatkan ilmu Barang Asal, sangat berbeda bahkan berlawanan dengan cara memikirkan ilmu Barang Jadi. Mendapatkan ilmu Barang Asal tidak memerlukan pertanyaan berapa, bagaimana, kenapa, kapan, dan di mana.
Itulah diantara prinsip-prinsip pengetahun temuan Ki Ageng Suryomentaram yang tertuang dalam Buku ‘Langgar’, sebuah buku yang berisi kumpulan surat dan catatan-catatan Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis dari tahun 1920 hingga 1928. Langgar sendiri adalah nama lain dari musholla, yakni tempat yang biasa digunakan Ki Ageng selama menuliskan risalahnya.
Buku ‘Langgar’ yang semula berbahasa Jawa ini kemudian diterjemahkan dan diberikan penjelasan secara mendalam oleh Muhaji Fikriono. Dalam hal ini, Muhaji Fikriono memberi kesempatan kepada pembaca untuk menelusuri lebih jauh perenungan dan temuan-temuan Ki Ageng. Sebelumnya, Muhaji Fikriono menulis buku ‘Makrifat Jawa untuk Semua’ yang lebih merupakan pengantar atas perenungan Ki Ageng Suryomentaram.
Maka, dalam buku ini Muhaji yang juga pernah menulis ‘Hikam untuk Semua’ secara tekun dan penuh penghayatan mencoba menelusuri relung-relung pengetahuan Ki Ageng Suryomentaram dengan lebih mendalam.
Kehadiran ‘Risalah’ Ki Ageng yang kemudian diberi judul Puncak Makrifat Jawa ini semakin menarik dikaji karena diapresiasi oleh seseorang yang memiliki latar belakang tradisi pesantren yang ketat sekaligus pengalaman hidup yang getir dan dilematis.
Tak heran, bila pertemuan Aji—demikian ia akrab disapa—dengan khasanah Ki Ageng Suryomentaram seakan menempatkan dirinya sebagai “murid” yang bertemu “Guru”. Bahkan dalam buku ini pula, penulis menyejajarkan sosok Guru Ageng Suryomentaram dengan sosok Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi, karena kejeniusan Ki Ageng dalam mengeksplorasi dan mengelaborasi khasanah jiwa manusia (Kawruh Jiwa). [editor]***