Oleh: Kliwonullah Chumaidi
Buku Puncak Makrifat Jawa yang diterbitkan oleh Noura Books (Mizan Group) pada tahun 2012 ini di-launching dan dibedah pertama kali di gedung PBNU Jakarta oleh Budayawan Radhar Panca Dahana, yang juga telah menyempatkan diri memberikan pengantar di sela-sela kesibukannya yang sangat padat.
Radhar menyambut baik penerbitan buku ini dan secara khusus memberikan apresiasi yang mendalam terhadap penulisnya. Menurutnya, penulis buku ini sangat mengesankan. Karena si penulis dengan cukup tekun mendalami salah satu inti kebudayaan Nusantara, yaitu Jawa yang masih terbuka untuk dipahami dengan lebih tekun lagi.
Di tengah anak-anak muda lain yang berkecenderungan menulis segala sesuatu yang mencla-mencle, atau paling top hanya melahirkan buku-buku how to. Itu baru dari segi kerja si penulis.
Dari segi kontennya menurut Radhar, buku yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini bukan hanya penting bagi orang Jawa, tapi juga penting bagi bangsa Indonesia. Karena ia turut mengidentifikasi salah satu anasir kebudayaan yang menurutnya menjadi salah satu problem solver dari persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi bangsa ini.
Di luar dugaan, ketika buku ini dibedah kembali di gedung PP Muhammadiyah Jakarta tanggal 5 Desember 2012, juga mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi dari Fahd Djibran, cendikiawan muda Muhammadiyah yang kini menjadi salah seorang peneliti di LIPI.
Menurutnya buku Puncak Makrifat Jawa merupakan sebuah bentuk kerja intlektual yang serius dan tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Djibran yang telah membaca buku ini dari halaman pertama hingga terakhir, menemukan banyak hal di dalamnya. Tentu saja, sebagai seorang peneliti yang selalu berusaha melihat segala sesuatu secara objektif, Djibran juga menyampaikan kritiknya terhadap buku ini.
Sebelum menyampaikan apresiasi dan kritiknya, Djibran terlebih dahulu memperkenalkan diri sebagai generasi muda Muhammadiyah yang menempuh pendidikan formal sejak SMP hingga Universitas di lingkungan Muhammadiyah. Baginya, kemuhammadiyahan adalah sesuatu yang telah mendarah daging.
Namun, karena di sisi lain Djibran juga membaca sejarah lain dan juga belajar perspektif sejarah, ia menjadi bertanya-tanya. Bahkan curiga, jangan-jangan sejarah Muhammadiyah dalam kemuhammadiyahan itu telah mengalami banyak masalah.
Termasuk absennya nilai-nilai spiritualitas essoteris. Menurut Djibran, tidak mungkin satu gerakan Islam tidak memiliki nilai-nilai itu. Namun pada kenyataannya, dalam kemuhammadiyahan yang telah ia pahami secara mendalam, nilai-nilai spiritualitas makrifat tidak ia temukan.
Setengah berkelakar Djibran berkata, “Rupanya butuh waktu satu abad, hari ini kita memanggil pulang Ki Ageng Suryomentaram.”
Dan ia menegaskan, “Ya, akhirnya saya menemukan missing link itu. Ternyata sisi-sisi eskatologis, sisi-sisi essoterisme Kyai Ahmad Dahlan itu sebetulnya ada dalam Ki Ageng Suryomentaram. Jadi, kalau mau belajar Muhammadiyah, memang mesti belajar dari kemuhammadiyahan. Tetapi bagaimana memahami pemahaman Islam KH. Ahmad Dahlan—dari yang paling sepele sampai yang paling serius, sampai yang paling hakiki—harus membaca Ki Ageng Suryomentaram.”
Kesimpulan Djibran di atas didasarkan pada fakta sejarah bahwa Ki Ageng Suryomentaram adalah satu-satunya murid adzdzukarrah-nya Kyai Ahmad Dahlan. Yaitu murid yang belajar langsung dengan lutut ketemu lutut.
Kyai Ahmad Dahlan adalah Katib Amin di Masjid Kauman, dan Ki Ageng Suryomentaram adalah salah seorang putra Hamengku Buwono VII. Sesuai dengan data-data yang ditemukannya, Djibran menyimpulkan bahwa Ki Ageng Suryomentaram adalah satu-satunya murid kinasih Kyai Ahmad Dahlan (Ngabdul Darwis) yang terkait dengan kemakrifatan dan semacamnya.
Setelah mendedah tentang risetnya bersama tim ahli selama sekitar 6 tahun tentang kebudayaan Jawa dari candi ke candi mulai Yogyakarta ke Surabaya hingga Banyuwangi, di mana ia mempertanyakan banyak hal yang berbeda secara diametral dengan kesimpulan para peneliti kejawaan sebelumnya seperti Mark R Woodward, Clifford Geertz, dan Dennis Lombard.
Djibran menyampaikan kritiknya terhadap buku Puncak Makrifat Jawa, yang menurutnya ditulis dengan cara yang personal dan perlu diperkuat lagi dengan metodologi riset tentang sejarah serta cara penulisannya agar buku ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam merekonstruksi “sejarah yang hilang” tentang Islam di tanah Jawa khususnya dan di Nusantara pada umumnya.
Hal lain yang tidak disetujui oleh Djibran adalah ketika seolah-olah penulis buku Puncak Makrifat Jawa ini menyejajarkan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dengan corak filsafat Timur Tengah yang sesungguhnya sangat berbeda. Filsafat Nusantara menurut Djibran selalu menitikberatkan tentang mikrokosmos, sementara filsafat Timur Tengah lebih terfokus pada makro kosmos.
Namun terlepas dari kekurangannya tersebut, Djibran sangat mengapresiasi buku Puncak Makrifat Jawa yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini sebagai sebuah buku yang luar biasa.
Ia menegaskan, “Ini belum sempurna, tetapi kalau kita sama-sama mendukung ini, ini akan menjadi temuan yang luar biasa. Bukan hanya bagi keluarga Ki Ageng Suryomentaram, tapi juga bermanfaat bagi Muhammadiyah. Bukan hanya bermanfaat bagi Nusantara, tapi juga bagi peradaban dunia.”
Sebelum menutup diskusi, sebagai pribadi yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, Djibran menyampaikan rasa terimakasihnya yang mendalam terhadap Nahdlatul Ulama yang telah menjaga dan melestarikan tradisi Islam Nusantara.
Sementara itu ketika buku ini dibedah di Universitas Indonesia tanggal 20 Desember 2013 atas inisiatif para mahasiswa dari Fakultas Sastra Jawa, KRT. Dr. Sajidi Hadipoetro Husadaningrat yang merupakan staf pengajar pascasarjana Fakultas Kedokteran UI juga menyampaikan apresiasinya yang cukup mendalam.
Dr. Sajidi yang mengenal secara pribadi penulisnya lebih dari sepuluh tahun lamanya, menegaskan bahwa buku Puncak Makrifat Jawa sebagai karya tulis telah memenuhi persyaratan yang diistilahkannya sebagai FINER. Yaitu Fisibility atau penguasaan terhadap obyek yang ditulis, Intresting atau pencurahan kegelisahan sebagai upaya untuk menemukan jalan keluar, Novelty atau mengandung sesuatu yang baru, Educate atau memiliki unsur pendidikan, dan Relevance atau mempunyai keterkaitan dengan persoalan kekinian.
Adapun Dr. Muhammad Hikam, Ketua Program Vokasi UI, selain mengapresiasi kehadiran buku Puncak Makrifat Jawa ini juga menyampaikan kritiknya sebagaimana Dr. Sajidi, bahwa gaya penulisan buku ini memang agak berbeda dengan buku-buku lain pada umumnya di mana susunan bab per babnya terkesan tumpang tindih, atau tepatnya tidak sistematis dalam bahasa akademisnya.
Semula, sebagai doktor yang biasa menguji tesis S3, S2, dan S1, Dr. Hikam seperti biasa membaca dahulu mukadimah dan langsung ke kesimpulan buku ini. “Namun saya malah pusing sendiri. Ini barangkali pancingan dari penulisnya agar saya membaca semuanya,” demikian komentarnya.
Menanggapi kritik dari semua pembedah bukunya, Muhaji Fikriono mengakui dengan terus terang bahwa dirinya memang tidak memiliki kompetensi untuk menulis buku-buku akademis.
“Benar, saya memang belum memiliki bekal yang cukup untuk dapat menulis buku yang akademis. Tapi Insya Allah buku-buku saya akan tetap dapat memberikan manfaat karena saya menuliskannya dengan sepenuh rasa yang ada pada diri saya. Yaitu rasa sama sebagai salah seorang manusia,” demikian penegasan penulis buku Puncak Makrifat Jawa.
Ujung Berung, 9 Januari 2013.