Kamis, 19 September 2013

Kejernihan Ki Ageng Suryomentaram dan Rabindranath Tagore

Kejernihan Ki Ageng Suryomentaram dan Rabindranath Tagore dalam sebuah catatan pendek

Sebagaimana pernyataan Tagore dalam My Boyhood Days, bahwa “makanan memperoleh cita rasanya bukan dari bumbu-bumbu melainkan dari tangan-tangan yang memasaknya.” Demikian pula berbagai resep kearifan dari Ki Ageng Suryomentaram menurut saya. Ya, betapapun nyaris tanpa bumbu sastrawi dan jauh dari terminologi ilmiah, namun Kawruh Begja yang beliau ajarkan tidak kalah adiluhungnya dengan yang didedahkan oleh para filsuf dan pujangga termasyhur di dunia, setidaknya menurut saya.

Bagi para sahabat yang sudah mempelajari ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram, melalui diktat yang telah dirangkum oleh para sahabat di Taman Mpu Sendok 12, paling tidak, berikut ini saya kutipkan sebuah aforisma dari Rabindranath Tagore yang saya nukil dari Gitanjali beliau yang legendaris itu. Mudah-mudahan aforisma ini semakin meningkatkan sense of appreciate kita terhadap kekayaan khazanah lokal kita. Amin.

Tinggalkan lagu dan nyanyian ini, juga pembicaraan mengenai penyucian diri (tasbih). Kepada siapa kau tujukan pemujaan dalam sudut sepi dan gelap di kuil ini dengan semua pintu tertutup? Buka matamu dan lihat Tuhan-mu tidak ada di hadapanmu.

Dia ada di sana. Di tempat para peladang yang membajak tanah yang keras, dan di tempat para pembuat jalan setapak yang memecah batu-batu. Dia bersama mereka dalam panas dan hujan, dengan pakain yang berlumur debu. Lepaskan jubah sucimu sebagaimana mereka yang didekati-Nya, dan bergumullah dalam tanah berdebu!

Pembebasan? 

Di mana arti kata pembebasan ini bisa ditemukan? Tuan kita sendiri dengan penuh keriangan menalikan pada diri-Nya ikatan penciptaan; Dia terikat dengan kita semua selamanya.

Keluar dari meditasimu dan singkirkan bunga-bunga dan dupamu! Apa ruginya jika pakaianmu menjadi compang-camping dan kotor? Temui Dia dan berdiri di sebelah-Nya dalam kerja keras dan dalam keringat di keningmu.

Silakan sandingkan dengan frasa yang ditulis oleh Ki Ageng, yang mendedahkan hakikat dengan bahasa “rakyat jelata” berikut ini:

Maka apabila rasa sial dianggap sebagai sifat, anggapan itu benar. Walaupun penjabarannya masih bisa keliru, sehingga orang mencari Yang Kuasa dan melakukan hal yang aneh-aneh yang tak enak rasanya. Kekeliruan itu disebabkan tidak jelasnya rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh.

Jadi bila kita mengerti bahwa sifat manusia itu sial karena butuh, lalu tidak mencari kuasa. Dengan sendirinya kita lalu berkuasa karena tidak butuh kuasa. Kemudian kita dapat menertawai kesialan kita sendiri. Demikian itu menyembah yang benar.

Dengan sedikit polesan verbal, frasa Ki Ageng saya tulis:

Maka, apabila inferiority yang melahirkan rasa tidak beruntung dianggap sebagai sifat, anggapan itu bisa dibenarkan. Walaupun penjabarannya masih bisa salah, sehingga manusia dalam mencari Yang Kuasa tidak perlu melakukan hal yang aneh-aneh, yang tidak membawa ketenteraman dan membahagiakan. Kesalahkaprahan itu disebabkan tidak jelasnya—apa yang disebut oleh Nietsche sebagai kehendak bebas (free will) atau dalam bahasa Ki Ageng—rasa berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh terhadap apapun dan siapapun.

Jadi, bila kita telah memahami bahwa subyektivitas manusia yang berkecenderungan merasa sial (tidak beruntung) itu terjadi karena rasa butuhnya, maka kitapun tidak lagi perlu mencari kuasa. Dengan sendirinya, kita otomatis menjadi berkuasa karena tidak lagi membutuhkan kuasa yang berada di luar diri kita. Kemudian, kita pun dengan mudah menertawai kesialan (ketidak-beruntungan) kita sendiri. Demikian itulah bentuk penyembahan yang benar.

Dengan gaya bahasanya yang khas, Ki Ageng Suryomentaram menutup pembahasan Menyembah Yang Kuasa dengan kalimat seperti ini:

Rasa kuasa ialah rasa enak, maka wejangan tersebut membikin orang merasa enak. Apabila orang menanggapi wejangan dengan tepat, ia merasa berkuasa, enak, yakni hasil wejangan yang semestinya.

Salam…

Muhaji Fikriono

Ngetest, Masih Gaptek



Membumikan Makrifat

Melihat Jawa dari berbagai sisi memang unik dan menggelitik. Namun dibalik keunikannya yang menggelitik tersebut terbentang berbagai hasanah yang akrab dengan sendi-sendi kemanusiaan. Dimana garis-garis humanis masih bersanding erat dengan masyarakatnya. 

Jika dirunut, humanisme Jawa ternyata tidak lepas dari daya kreatif serta kegeniusan para leluhurnya. Semisal Sunan Kalijaga, yang mempunyai kemasan tersendiri dalam rangka menyampaikan ajarannya.

Tidak jauh geniusnya dengan Ki Ageng Suryomentaram, putra ke-55 dari 79 keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Kegeniusan beliau tercermin dari pengejewantahannya tentang jiwa. Jiwa yang dalam literatur tasawuf dan psikologi umum terlihat begitu rumit serta jlimet, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa. Karena rasalah daya yang mendorong semua makhluk untuk beraktivitas.

Kecerdasan beliau akan lebih nampak jika disandingkan dengan Mulla Shadra, yang mendefinisikan jiwa sebagai subbtansi yang zatnya non materi tetapi sangat terikat dengan materi dalam aktivitasnya. Begitu juga dengan pengklarifikasian jiwa. 

Jika Mulla Shadra dan Ibnu Sina menyebut gradasi jiwa dengan jiwa tumbuhan, jiwa hewan baru jiwa manusia, Ki Ageng menyederhanakannya dengan rasa dangkal, rasa dalam serta rasa sangat dalam.

Ketiga level rasa diatas menurut Ki Ageng dapat dipelajari lewat tiga perangkat inheren dalam diri setiap manusia. Pertama adalah panca indera. Kedua melalui rasa hati, yakni rasa yang dapat merasa aku, merasa senang, merasa ada dan sebagainya. Sedang yang ketiga dapat dipelajari lewat pengertian atau pemahaman. Perangkat terakhir ini berfungsi untuk menentukan suatu hal yang berasal dari panca indera dan perasaan.

Oleh Ki Ageng, mempelajari rasa dalam diri sendiri atau pangawikan pribadi sama halnya dengan mempelajari manusia dengan kemanusiaan. Karena bagaimanapun yang mempelajari adalah bagian dari makhluk yang bernama manusia. 

Maka jika berhasil mempelajari diri sendiri dengan tepat, secara otomatis juga berhasil mempelajari manusia pada umumnya. Dengan demikian, alangkah eloknya jika pembelajaran pangawikan pribadi dipelajari dari sekarang, disini serta penuh keberanian menghadapai segalanya apa adanya.

Gradasi rasa

Keberadaan kondisi yang bercorak hitam-putih terkadang memang masih membelenggu jiwa manusia. Hal itu disebabkan manusia kurang menyadari keberadaan alam, yang oleh Ki Ageng dibedakan menjadi empat gradasi. 

Pertama dimensi tunggal. Dimensi yang berupa garis ini sebagai analogi untuk bayi, yang kemampuannya baru sebatas merekam berbagai rangsangan dari luar dengan panca inderanya. Oleh Mulla Shadra, tingkatan pertama ini disebut dengan jiwa tumbuhan.

Seseorang dapat dikatakan memasuki gradasi kedua jika telah mampu mengorganisasikan atau membentuk tipologi dari berbagai jenis rekaman di dalam ruang rasa. Dengan kata lain, manusia pada tingkatan kedua ini mulai sedikit sadar untuk mengekspresikan rangsangan-rangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Namun dalam bertindak tersebut tidak berdasarkan akal dan hati, sehingga akibat reaksinya dalam menghadapi rangsangan sering melenceng. 

Tingkatan kedua ini disebut sebagai benda dua dimensi atau jiwa bianatang.

Ketiga, manusia tiga dimensi. Dalam fase ini, manusia sudah mampu memberdayakan akalnya untuk berfikir, sehingga dapat memahami hukum-hukum alam. Namun tidak dengan hatinya. 
Dengan demikian, manusia yang bertempat pada level ketiga ini hidupnya didominasi oleh ego, atau yang oleh Ki Ageng diistilahkan dengan kramadangsa.

Kramadangsa merupakan abdi dari berbagai tipologi rekaman yang minta diistimewakan. Karena masing-masing rekaman yang tersimpan sejak lahir mulai saling menyikut agar dapat posisi tertinggi diantra rekaman yang lain. 

Artinya, hidup pada ukuran ketiga adalah ketika hidup hanya  diabdikan pada semua rekaman dan berbagai kebijakan pikiran yang mengorganisasikanya dalam ruang rasa.

Keempat, manusia empat dimensi. Yakni manusia yang tidak hanya memiliki ukuran panjang, lebar serta tinggi dalam dimensi ruang dan waktu. 

Namun manusia pada tingkatan terakhir ini juga memiliki rasa yang dapat melintasi ruang dan waktu. Karena selain kemampuan analisisnya telah sampai pada hukum alam, manusia ini juga memiliki kebijaksanaan yang bersumber dari rasa. Rasa inilah yang oleh Ki Ageng disebut sebagai rasa yang dapat berkembang, yakni rasa yang tidak mungkin dapat dirasakan hewan, apalagi tumbuhan.

Pertarungan dan pembebasan

Dalam buku ini juga terdapat bagan yang mengatakan bahwa, krenteg (gerak hati) yang lahir dari dalam diri serta berasal dari rekaman ruang rasa memiliki dua potensi. 

Pertama, manusia akan kembali pada level ketiga, yakni hidup dalam kendali kramadangsa. Semisal marah. Jika dalam keadaan marah justru memikirkan bagaimana cara melampiaskan marah, maka kembalilah manusi pada posisi ketiga.

Namun sebaliknya, jika dalam keadaan marah yang terpikir adalah apa itu Marah, bagaimana karakter dan apa tujuannya, maka manusia menuju ke tigkatan tertinggi. 

Gradasi tertinggi ini adalah manusia yang telah terbebas dari dominasi egonya sendiri dalam bertindak. Ukuran terakhir ini oleh Ki Ageng disebut sebagai instrument dalam diri, yang berfungsi khusus untuk memotret diri orang lain.

Keberhasilan seseorang dalam meraih puncak rasa merupakan suatu keistimewaan tersendiri. Karena jika bersinggungan dengan realitas (masyarakat), manusia tanpa ciri akan selalu merasa damai sebab tidak harus berselisih. Manusia tanpa ciri adalah manusia bumi yang mampu membumi.

* Peresensi Eko Sulistiyo ZA, adalah presiden pada Association of Saber Unfold Fak. Ushuluddin UIN Suka.

Makrifat Jawa untuk Semua

Ngawati ingsun ngalars syi'iran
Kalawan muji maring Pangeran
Kang paring rahmat lan kenikmatan
Rina wengine tanpa pitungan

...............................
..............................
..............................

Walau lahir dan besar di Jakarta, sejak kecil saya sudah diajar untuk menyelami dan memahami tata cara kehidupan orang jawa, lebih tepatnya Jawa Tengah mengambil alur dari pihak mama saya.
Contoh kecil saja, sampai saya kelas VI Sekolah Dasar, atas dawuh Eyang Putri, setiap Rabu saya dan para saudara harus mengikuti les menari plus kerawitan. Kebetulan salah satu bude memiliki gamelan lengkap dan membuat sanggar.

Sementara anak-anak lain mungkin sedang sibuk les balet, piano dan sejenisnya, kami harus melatih keluwesan tubuh. Setiap Halal Bihahalal kami harus membuka acara dengan kerawitan.

Kadang saya kangen saat-saat itu. Menari membuat saya merasa berada di dimensi lain dimana waktu terhenti.

Hidup menjalani adat Jawa buat saya gampang-gampang susah. Saya tidak keberatan harus menelan bubur Suro yang rasanya aneh bagi lidah anak Jakarta. Saya tenang saja saat menjalani tirakat mutih Senin-Kamis. Tapi saya sangat merasa tidak nyaman saat harus berhadapan dengan para penduduk desa yang tinggal di dekat sarean  keluarga di Solo.

Mau bagaimana, adat mengharuskan begitu.


Usaha pe de ka te  saya dan seseorang gagal total akibat tanpa sengaja dia melihat KTP saya dan membaca tulisan nama lengkap saya. Langsung merasa tak enak hati dan minder. Segera bubar jalan-lah pe de ka te itu. Sepertinya memang belum jodoh yaa.

Saat ini, setelah mengalami banyak warna dalam kehidupani,  saya menjadi  sangat berkompromi dengan nasib. Hidup saya sudah sangat pasrah pada sang sutradara kehidupan ini.

Saat timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu, semua usaha dikeluarkan semaksimal mungkin bahkan kadang seperti tidak masuk akal di mata orang lain. Tapi  saat usaha itu tidak membuahkan hasil, sekarang saya hanya bisa  merenung, menelaah langkah-langkah yang sudah diambil dan menjadikannya sebagai sebuah pelajaran.

Belum berhasil berarti belum jodohnya sukses.  Sebuah kegagalan tidak perlu disesali, tapi yang terpenting adalah agar tidak menjadi bodoh untuk mengulangi kesalahan yang sama.

Dahulu...., saya akan meledak, memarahi diri, grusak-gruisuk mencari kambing hitam dan pembenaran untuk sebuah kegagalan. Sebuah kegagalan tidak perlu disesali, tapi yang terpenting adalah agar tidak menjadi bodoh untuk mengulangi kesalahan yang sama.

Kepasrahan dan penyerahan diri  kepada Tuhan yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat disebut sebagai makrifat.

Buku ini menjelaskan bagaimana seseorang, tepatnya seorang Jawa menjalani kehidupan dan berserah diri pada Sang Pencipta. Ajaran yang diberikan mengacu pada seorang arif bijaksana bersama  Ki Ageng Suryomentaram.

Ki Ageng Suryomentaram masih merupakan keluarga bangsawan sebelum menemukan pencerahan. Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan J. Krishnamurti dari India yang mendasarkan ajarannya pada pengetahuan pada diri sendiri, Zarathustra dari Persia pernah mengemukakan ajaran yang bertema itulah engkau,  serta Sokrates dari Yunani  dengan teori kenalilah dirimu.

Banyak falsafah kehidupan yang bisa kita petik manfaatnya.

Misalnya pada halaman  19 disebutkan mengenai ajaran tentang ilmu pengetahuan. " Tahu itu tanpa batas, karena sampai pada titik tidak tahu, toh kita masih bisa tahu juga. Yaitu tahu bahwa kita tidak tahu. Tidak tahu itu pada akhirnya akan timbul saat kita meneliti satu per satu barang atau satu per satu kejadian....."

Jika ditelaah lebih lanjut, banyak ajaran beliau yang selama ini tanpa saya sadari sudah saya jalani. Misalnya saja saya selalu diingatkan untuk berpikir positif, optimis  dan berprasangka baik. Sebab apa yang kita pikirkan adalah apa yang akan kita peroleh. "
Di kolong langit ini, Anakku, tak ada sesuatu pun yang pantas diratapi dan ditakuti. karena begitu seseorang telah mengeluh atau mengkhawatirkan terjadinya sesuatu, pada saat yang sama berarti ia tengah mengharapkan datangnya sesuatu yang tidak ada pada saat itu. Dan ketika seseorang sedang menginginkan sesuatu, harapannya pun merayu ....."

Seseorang akan merasa terbebani oleh rasa sial adalah karena adanya rasa butuh pada diri orang tersebut. Dan yang menjadi penyebab orang bisa memiliki rasa kuasa adalah karena tidak adanya kebutuhan yang bersemayam dalam diri orang itu.

Maka bisa disebutkan bahwa butuh ialah sial, dan tidak butuh adalah berkuasa. Jadi rasa berkuasa adalah rasa tidak butuh kuasa, karena mengerti bahwa watak manusia itu 'sial""

Mengutip yang tertera di web penerbit, dalam buku ini, kita juga mendapatkan tips dari Ki Ageng untuk menempa diri:
Mengamati dan meneliti rasa batin kita yang muncul serta bertanya dan menjawabnya dengan jujur; dari mana dan ke mana rasa batin kita menuju?

Membangkitkan kesadaran "aku sejati" agar senantiasa menjadi subjek dalam menghayati hidup dan kehidupan ini dengan penuh kesabaran, sehingga selalu memiliki keberanian untuk menghadapi kenyataan saat ini, di dunia ini, apa pun wujudnya! (saiki, ing kene, ngene!).

Mengambil keputusan atau menentukan sikap/tindakan berdasarkan pemahaman terhadap situasi yang sedang dihadapi, dengan memperhatikan dan mengkritik nilai-nilai yang kita yakini dengan sesungguhnya, dan tidak hanya berlandaskan kepada "katanya-katanya", "pantasnya-pantasnya", dan "duga-duga" semata.

Di halaman belakang, tercetak beberapa kutipan dari berbagai sumber yang sangat bermanfaat. Misalnya saja dari 100 Kalimah Imam Ali, kutipan dari kita-kitab karya Al-Ghazali.

Kutipan favorit saya adalah " Etika seseorang mencerminkan kualitas akalnya"

Terakhir....
mari menutup curatan hati ini dengan menembang.

amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni
boya keduman milik
kaliren wekasanipun
dilalah karsaning Allah
begja-begjana kang lali
luwih begja kang eling kelawan waspada

Diposkan oleh: Truly Rudiono

Memahami Makrifat Jawa

“Man’ arafa nafsahu faqad’arafa Rabbahu” Orang yang telah memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya.

Orang Jawa kerap kali di persepsikan sebagai masyarakat yang percaya akan suatu di luar rasionalitasnya. Setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan senantiasa dikaitkan dengan hal-hal gaib. Wajar, jika dalam masyarakat Jawa kuno banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk mengisi ruang batinnya. Supaya menemukan keajaiban dan kekuatan.

Terlebih, bagi masyarakat yang hidup di sekitar keraton warisan budaya tersebut selalu di pertahankan secara turun- temurun. Lantas, menjadi penanda identitas bagi masyarakat Jawa secara keseluruhan.

Menurut Rasyidi,(1996) orang Jawa memiliki falsafah aliran kebatinan tersendiri yakni, “Sepi ing Pamrih, rame ing gawe” dan ikut “memayu hayuning Bawana”.

Maksudnya, banyak bekerja bhakti tanpa mementingkan keuntungan pribadi dan ikut membentuk dunia yang indah dan makmur. Ironisnya, kini ajaran-ajaran kearifan lokal justeru semakin kehilangan makna di hati masyarakat “jawa” modern.

Bila kita telusuri, di Jawa banyak sekali warisan agung mengenai ajaran kearifan lokal yang sudah mapan. Misalnya, Serat Dewa Ruci, Suluk Gatholoco, Suluk Darmogandhul, Serat Syeh Siti Jenar, dan Serat Wirid Hidayat Jati Raya untuk di pelajari generasi selanjutnya.

Ironisnya, semua itu kini kurang diminati. Tentu, ada berbagai persoalan yang menjadi penyebab ketidakpedulian masyarakat Jawa modern terhadap tradisi para leluhurnya.

Penyebabnya adalah masyarakat Jawa modern sudah banyak yang terkontaminasi dengan budaya modern. Yang sedikit banyak justeru mendorong manusia mengejar materi ketimbang mencari jati diri. Akhirnya, tidak sedikit dari masyarakat modern krisis spiritual.

Buku “Makrifat Jawa Untuk Semua”ini, hendak memperkenalkan salah satu khazanah kearifan lokal “tasawuf” yang pernah membumi di tanah Jawa kepada kita. Yaitu, ajaran ki Ageng Suryamentaram dari Ngayogyakarto. Ada tiga pembahasan makrifat Jawa yang di ulas oleh Abdurrahman Asiy di buku ini, yakni Relasi Takdir Tuhan dan Pilihan Bebas Manusia, Cinta Kuasa Manusia, Makrifat.

Ketiganya, merupakan mutiara yang penuh makna. Baik di tinjau dari kajian filsafat maupun tasawuf.

Diakui maupun tidak, manusia sebagai makhluk pencari makna kerap jatuh putus asa dan mencari berbagai cara untuk mencari alternatif supaya dapat menenangkan bathinnya. Terlebih bagi kita yang hidup di zaman seperti sekarang ini, banyak gejolak bathin yang tak mampu di selesaikannya. Bahkan, masyarakat di Barat sendiri untuk mencari jati dirinya banyak melakukan berbagai meditasi.

Kembali ke ajaran ma’rifat Jawa, menurut Ki Ageng, manusia dapat mempelajari atau mengetahui segala sesuatu melalui tiga macam perangkat dalam diri.

Pertama, melalui panca indera yakni, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Kedua, melalui rasa hati, rasa yang merasa aku, merasa ada, senang, dan susah. Ketiga, melalui pengertian atau pemahaman yang berguna untuk menentukan suatu hal yang berasal dari pancaindera dan perasaan. Dengan menjadikan diri sebagai “pengawilan pribadi”objek, kita dapat mempelajari manusia secara keseluruhan. (hal,52)

Ajaran tasawuf Ki Ageng Suryomentaram ini, dapat menjadi resep mujarab bagi kita dalam kehidupan yang universal. Serta, mendorong diri kita untuk menghadapi apa yang saat ini terjadi dengan mengedepankan keluhuran kemanusiaan.

Abdurrahman El Ashiy memberikan tips kepada kita untuk menempa diri(yang di ambil dari ajaran Ki Ageng).  Pertama, mengamati dan meneliti rasa bathin kita yang muncul serta bertanya dan menjawabnya dengan jujur.

Kedua, membangkitkan kesadaran sejati”aku sejati” supaya senatiasa menjadi subjek dalam menghayati kehidupan dengan penuh kesabaran dan memiliki keberanian menghadapi kenyataan hidup. Ketiga, mengambil keputusan atau menentukan sikap atau tindakan berdasarkan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dengan meng kritik nilai-nilai yang kita yakini.

Buku ini, membantu kita memahami ajaran kearifan lokal yang sudah pernah membumi di tanah Jawa. Apalagi di tengah absennya masyarakat Jawa “modern” yang kini banyak tidak tertarik akan ajaran kearifan lokal. Penting kiranya, menggali khazanah warisan agung para leluhur kita untuk dipelajari.

Menurut saya, kehadiran buku ini amat tepat.

Memahami makrifat Jawa sebagai upaya memupuk jiwa kita menjadi penting. Dan, menjadi alat control bagi kita untuk menyingkirkan sikap egoisme, keserakahan, dan keasyikan pada dunia. Tak pelak, buku ini bisa menghantarkan seseorang yang berminat untuk menemukan arti hidup dengan ajaran tasawuf.


*)Ahmad Faozan, Ketua Himasakti (Himpunan Mahasiswa Santri Alumni Keluarga Tebuireng) Yogyakarta.



RESENSI BUKU "MAKRIFAT JAWA UNTUK SEMUA"

Buku MAKRIFAT JAWA UNTUK SEMUA yang ditulis oleh Abdurrahman El-‘Ashiy adalah buku tentang kearifan Jawa yang "ngepop" dan popular yang disarikan dari buah pemikiran dan pengalaman religius dan mistik Ki Ageng Suryomentaram. Penulis mengakui bahwa ia pernah terpuruk dalam hidupnya sehingga memprotes Tuhan karena merasa telah diperlakukan tidak adil, namun kebersahajaan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan nasihat kebapakannya mampu mendinginkan didih hatinya dan pergolakan jiwanya.

Penulis yakin bahwa banyak orang lain yang memiliki problem yang sama dan gagasan sederhana tapi tetap "bergizi" Ki Ageng akan mampu menyadarkan setiap orang dan membangkitkan semangat untuk tetap survive menjalani kehidupan dan bersyukur atas karunia Ilahi.

Pangeran Suryomentaram mengalami gejolak diri saat ia duduk sebagai pejabat publik. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hatinya. Ia merasa setiap saat hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, dan yang dimintai. Dia tidak puas dengan semua itu karena merasa tidak pernah bertemu "orang" (manusia sejati).

Di lingkungan keraton, dia hanya menemukan sembah, perintah, marah, minta, dan tidak pernah bertemu dengan "orang". Inilah titik tolak penggembaraan spiritual Sang Matahari Jawa yang kemudian berujung pada penemuan diri yang hilang setelah kurang lebih 40 tahun, Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan.

Aspek yang menarik lainnya dari kehidupan Ki Ageng adalah meskipun beliau serius mendalami jiwanya dan menghabiskan banyak waktu di bidang ini, namun di sisi lain beliau sangat memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan berpikir keras untuk memajukan bangsa dan tanah airnya.

Ki Ageng tidak hanya berpikir mentransformasi dirinya namun ia juga beraksi untuk menciptakan perubahan di tengah masyarakat.

Hal ini tampak pada kepeduliannya terhadap pendidikan dan perjuangan kemerdekaan. Saat perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata.

Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu, akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan kepada para pemuda, melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada 1992 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa.

Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan J. Krishnamurti dari India (1895-1986 M), Zarathustra dari Persia (abad ke 7-6 SM), dan Sokrates dari Yunani (469-399 SM). Khrisnamurti mendasarkan ajarannya pada pengetahuan tentang diri sendiri (self knowledge), yang kurang lebih sama dengan Ki Ageng yang mendasarkan ajarannya pada pemahaman atas dirinya sendiri (pengawikan pribadi).

Zarathustra juga pernah mengemukakan ajaran Tat Tvam Asi! (Itulah Engkau!), sedangkan Sokrates di kota Athena mengemukakan ajaran yang bertema Gnothi seauton! (Kenalilah Dirimu!). dan kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa keempat tokoh di atas sesungguhnya adalah orang-orang yang telah mencapai makrifat.

Ya, karena secara umum Ali bin Abu Thalib mendefinisikan makrifat sebagai, "Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu!" orang yang telah memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya!

Ki Ageng adalah tokoh sentral atau Guru Utama "aliran kebatinan" kawuh begja (pengetahuan tentang bahagia) atau karwuh jiwa (pengetahuan tentang jiwa). Aliran ini terinspirasi dari aliran kebatinan Jawa, Sumarah yang berarti pasrah atau berserah.

Dalam komunitas Kawruh begja terdapat aktivitas yang cukup penting, yaitu studi tentang diri sendiri guna mendapatkan pengetahuan tentang diri sendiri. Kegiatan ini dilaksanakan selama lima bulan. Ajaran-ajaran dalam Kawruh begja pada pokoknya bukanlah ajaran-ajaran rahasia. Para pengkaji "aliran" ini selalu terbuka untuk berdiskusi atau mendiskusikan ajaran mereka.

Penulis sangat takjub akan kejeniusan sekaligus kearifan Ki Ageng. Pembahasan tentang jiwa, misalnya, yang sedemikian rumit dalam literatur tasawuf maupun mistisme jawa, atau bahkan dalam psikologi umum, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa.

Pangawikan Pribadi atau mempelajari tentang rasa dalam diri sendiri, menurut Ki Ageng, bisa disamakan dengan mempelajari manusia dan kemanusiaan. Karena kita semua adalah bagian dari makhluk bernama manusia, maka ketika kita mempelajari rasa diri sendiri dan berhasil memahaminya dengan tepat, otomatis kita akan memahami manusia pada umumnya.

Maka, Pangawikan Pribadi itu -sarannya- mesti dimulai dari sekarang, di sini, dan dengan penuh keberanian menghadapi segala yang ada di hadapan kita secara apa adanya (saiki, ing kene, lan ngene).

Dapat disimpulkan bahwa di dalam setiap diri manusia terdapat pencatat atau perekam yang merekam pelbagai keadaan dan peristiwa. Rekaman-rekaman itu awalnya tersusun secara acak tapi kemudian terorganisasi sesuai corak dan jenisnya.

Pelbagai rekaman yang masih acak itulah yang kemudian melahirkan rasa kramadangsa, yaitu rasa keakuan atau ego, yang kemudian tumbuh sebagai pemikir yang mendominasi ruang rasa kita. Sepanjang waktu, aktifitas kramadangsa adalah memperhatikan, memikirkan, menyeleksi, mengorganisasi, dan kemudian dengan senang hati menjadikan rekaman favoritnya sebagai tuan atau majikan yang dihambanya dengan penuh kerelaan.

Bila beragam rasa yang muncul dari dalam diri kita bisa kita teliti dengan tuntas, penghalang yang berupa anggapan benar itu pun akan runtuh. Setelah hijab itu runtuh, kita pun leluasa menyaksikan kekeliruan rekaman-rekaman kita tentang segala sesuatu. Dengan demikian, keakuan si Kramadangsa yang sebelumnya selalu dominan pun tak lagi bertaji. Bersamaan dengan tak lagi berdayanya rasa kramadangsa, lahirlah rasa manusia tanpa ciri.

Manusia tanpa ciri, atau manusia yang tak lagi memerlukan ciri-ciri (atribut), adalah manusia yang penglihatan mata hatinya tak lagi terpengaruh atau terhalangi oleh pelbagai rekaman dan catatan-catatan yang memenuhi ruang rasanya. Saat itu semua rekaman dan catatannya sudah tidak lagi memerlukan perhatian pikirannya.

Sebagai hasil dari pangawikan pribadi ini, seharusnya jiwa kita menjadi sehat. Beliau sengaja membuat bagan yang provokatif bahwa manusia tanpa ciri akan memiliki jiwa sehat 100%.

Ada sebagian pemikiran Ki Ageng yang dianggap kontroversial, misalnya ia pernah dituduh tidak percaya terhadap kehidupan akhirat. Dan aliran yang dipimpinnya dicap tidak percaya kepada Tuhan dan sesuatu yang gaib. Namun penulis tegas-tegas membantah tuduhan ini.

Bagai Ki Ageng, sebagaimana kehidupan di dunia, akhirat adalah sesuatu yang niscaya, karenanya tidak perlu lagi dipikirkan atau harus digambar-gambarkan dengan pelbagai tamsil, tanda-tanda, maupun persamaan yang kekanak-kanakan.

Hal ini selaras dengan ucapan pertama imam Ali dalam 100 kalimah, "Seandainya tabir yang menutupi realitas akhirat telah terbuka, keyakinanku terhadapnya saat ini tidak akan bertambah."
Ki Ageng lebih mendahulukan "pengalaman" daripada "keyakinan". Ia senantiasa berupaya mengalami terlebih dahulu, baru kemudian percaya dan yakin. Dengan demikian komunitas Kawruh Bagja yang diasuhnya tetap terbuka pada kepercayaan terhadap Tuhan dan agama.

Bagi penulis, Ki Ageng bukan orang yang menolak konsep keagamaan dan syariat seperti kewajiban salat, namun beliau berusaha untuk lebih menonjolkan kualitas keberagamaan dan instisarinya.

Bahkan saat menjelaskan hakikat ibadah, secara luas biasa beliau memberikan resep jitu, yaitu dalam menyembah Yang Kuasa sesuai dengan jalan pikiran dan akal sehat -supaya bisa menenteramkan hati atau khusyuk dalam istilah Alquran-maka terlebih dahulu kita harus memahami: "siapa" sesungguhnya yang menyembah, "apa" yang sesungguhnya disembah, dan bagaimana "cara menyembah yang benar".

Berkaitan dengan ketiga hal tersebut, Ki Ageng menjelaskan bahwa aktivitas menyembah bukanlah naluri bawaan bagi semua orang. "tidak semua orang secara otomatis berwatak menyembah," begitu kata beliau.

Yang membuat seseorang berkecenderungan menyembah adalah ketika ia merasa hidupnya malang atau kurang beruntung menurut anggapannya.

Menurut penulis, yang dimaksudkan sebagai penyembah oleh Ki Ageng di situ adalah orang yang berwatak budak sekaligus bermental pedagang. Hakikat penyembahan kepada Allah saat seseorang menyembah-Nya hanya semata atas dasar makrifat dan cinta. Inilah ibadah yang digagas dan dikehendaki oleh Ki Ageng.

Peresensi: Syeikh Muhammad Alcaff, Pengasuh Meditasi Suluk Sunan/MS2.

Makrifat Jawa

Ulasan buku oleh: Hartono Rakiman, Pengasuh Rumah Baca.

Ada untungnya saya dilahirkan sebagai orang Jawa, ketika membaca buku “Makrifat Jawa,” karya Abdurrahman El  ‘Ashiy (Serambi: 2011). Mungkin agak sedikit sulit bagi pembaca non Jawa untuk memahami buku ini, meskipun di sampul depan ada tulisan yang menyebutkan “Makrifat Jawa  Untuk Semua.”

Pada sampul belakang buku disebutkan  bahwa sebelum Islam datang, Jawa telah memiliki ajaran-ajaran kearifan yang mapan. Kehadiran Islam tidak menghapus kearifan-kearifan itu, tapi justru menyempurnakannya.

Orang Jawa sangat terbuka terhadap keyakinan dan semua agama, terutama Islam. Namun, mereka tidak mau ketika harus ”diarabkan.” Sebagaimana mereka juga menolak mati-matian saat hendak ”dibelandakan” atau ”diinggriskan.”

Melalui buku ini, sang penulis, Abdurrahaman El ’Ashiy, yang bernama asli Muhaji Fikriono, mencoba mendaratkan ajaran makrifat Jawa ini ke dalam dialog personal dengan pembaca. Menceritakan siapa Ki Ageng Suryomentaram, sang penemu rumusan ”Kawruh Begja” (ilmu bahagia). Sekaligus menceritakan siapa sang penulis  sendiri pada awal sebelum  mengenal karya-karya Ki Ageng Suryomentaram.

Ki Ageng Suryomentaram adalah pelatak dasar ilmu kejawen ”Kawruh Begja,”  yang berhasil menyedarhanakan realitas kehidupan dengan kondisi yang dihadapai sosok manusia sehari-hari.

Dia adalah B.R.M. Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sultan Hamengku Buwono VII. Konsepnya adalah ”saiki, ngene, neng kene” (sekarang, seperti ini, di sini).

Menurut Ki Ageng Suryomentaram, tak perlulah otak manusia dijejali dengan pemikiran atau kawruh yang berada di luar pengetahuan atau pengalaman manusia sehari-hari. Konsep ini lebih berifat personal, refleksi ke dalam diri setiap manusia.

Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan Krisnamurti (self knowldge: pengetahuan tentang diri sendiri), Zarathustra (Tat Tvam Asi: itulah engkau), atau Sokrates (Gnothi Seauton: kenalilah dirimu). Dalam khasanah Islam juga ada, seperti disampaikan oleh Ali bin Abu Thalib (Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu: orang yang memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya).

Menjelaskan sesuatu di luar akal manusia, menurut Ki Ageng adalah cara berfikir manusia yang sok tahu, padahal tidak tahu. Seperti yang telah ada selama ini, dengan lahirnya ilmu-ilmu filsafat yang mencoba mengupas fenomea di luar akal, metafisika, asal dan akhir dunia. Padahal mengakui atau menyadari bahwa tidak tahu itu sebenarnya adalah inti dari ilmu “Kawruh Bagja” itu.

Tahu itu ada batasnya. Di luar itu adalah tidak tahu.

Maka yang paling penting adalah menyadari keberadaan diri senediri, menyelami apa yang terjadi dalam diri. Ada proses refleksi diri. Maka yang perlu dipahami adalah tiga hal tadi (saiki, ngene, neng kene). Sama halnya dengan ungkapan yang mengatakan “yesterday is a memory, tomorrow is a mystery, today is a gift.”
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, today atau hari ini  adalah sesuatu yang harus dilalui dan dinikmati sebagai sebuah karunia Illahi. Ilmu bahagia itu akan ketemu kalau meletakkan sesuatu apa adanya. Terlalu tinggi menaruh keinginan atau harapan-harapan akan membuat hati tidak  bahagia dan kosong.

Buku ini menurut saya menjadi unik karena ditulis oleh seseorang yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di lingkungan pesantren. Yang setiap harinya belajar Al Qur’an, kitab kuning, belajar sorogan, di bawah bimbingan ustad. Hidup dalam garis kemiskinan yang hampir membuatnya protes kepada Tuhan, yang menurutnya tidak adil.

Hingga pada suatu ketika sang penulis menemukan buku ajaran Ki Ageng Suryomentaraman di toko buku Gunung Agung Kwitang, yang waktu itu seharga Rp. 150 untuk setiap buku. Mulai dari sana ajaran itu telah merubah hidupnya secara drastis. Terutama dalam hal memandang kehidupan. Dari sanalah, sekian tahun kemudian sang penulis membeberkan dalam buku ”Makrifat Jawa” ini.

Menjelajah Ruang Rasa dan Mengembangkan Kecerdasan Batin bersama Ki Ageng Suryomentaram


Filsafat Jawa menyimpan lapisan-lapisan ilmu pengetahuan tentang moral, etika, hingga pengetahuan tentang "rasa". Filsuf dan begawan Jawa telah memberi kabar tentang masa depan, ilmu kemanusiaan, politik kuasa, hingga hubungan dengan alam dan Tuhan. Kisah-kisah kebatinan Jawa telah ditulis Ranggawarsita, Puradisastra, hingga Suryamentaram. Dan, nama terakhir inilah yang merupakan pangeran keraton yang menulis syair dan rahasia kemanusiaan.

Buku karya Abdurrahman el-Ashiy ini mengungkap biografi intelektual dan pandangan filsafat Ki Ageng Suryamentaram. Tokoh yang dibahas dalam buku ini merupakan filsuf Jawa yang hidup pada abad ke- 21. Ia ahli waris trah Keraton Ngayogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono VII, tapi menolak sebagai pangeran agar mampu hidup damai dan menemukan kebahagiaan sejati.

Ia lahir pada 20 Mei 1892 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Ibundanya, Bendara Raden Ayu Retnomandoyo, adalah putri patih Danurejo VI yang bergelar Pangeran Cakraningrat. Pada usia 18 tahun, Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryamentaram.

Namun penganugerahan ini justru menggelisahkannya. Kesedihannya memuncak tatkala kakeknya, Pangeran Cakraningrat, diberhentikan dari jabatan patih dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan ibundanya diceraikan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Istri yang dicintainya pun wafat ketika anaknya baru berusia 40 hari.

Berbagai peristiwa tragis yang menimpa sang pangeran itu membuatnya sedih dan frustrasi. Ia lalu mengajukan pengunduran diri sebagai pangeran dan ingin pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk menenangkan diri. Tapi permintaan itu ditolak ayahnya. Keinginan itu baru dikabulkan Sultan Hamengku Buwono VIII. Kemudian ia pindah ke daerah Bringin di Salatiga.

Nama Ki Ageng Suryamentaram adalah pemberian sahabatnya, Ki Hadjar Dewantara. Mereka sering berdiskusi tentang masalah kehidupan manusia, situasi keindonesiaan, serta penjajahan Belanda dan Jepang.

Perenungannya tentang kehidupan dan pengalaman pribadinya kemudian menggumpal dalam satu ajaran tentang kearifan yang disebutnya kramadangsa. Ia menggunakan dirinya sendiri untuk bereksperimen, semisal menyeberangi sungai banjir dan kemudian hampir meninggal. Ia menggunakan pengalaman itu sebagai cara untuk mengetahui kedalaman batinnya.

Ki Ageng menuturkan, "Dalam diri setiap manusia terdapat pencatat atau perekam yang merekam berbagai keadaan dan peristiwa. Rekaman-rekaman itu awalnya tersusun secara acak, tapi kemudian terorganisasi sesuai corak dan jenisnya. Berbagai rekaman yang masih acak itulah yang kemudian melahirkan rasa kramadangsa, yaitu rasa keakuan atau ego, yang kemudian tumbuh sebagai pemikir yang mendominasi ruang rasa kita" (halaman 58).

Kradamangsa alias "filsafat rasa" inilah yang menggerakkan batin, imajinasi, dan intuisi seseorang. Ki Ageng Suryamentaram mengklasifikasi benda-benda yang ada di alam semesta ini menjadi empat macam, dari benda berdimensi tunggal hingga yang berdimensi empat. Dan keempat jenis wujud benda itu tercakup dalam diri manusia.

Menurut Ki Ageng, dalam tahap keempat inilah, manusia menemukan makna sejati, yakni dapat mengetahui diri sendiri, merasakan emosi orang lain, hingga akan timbul kebijaksanaan. Istilah "ukuran keempat" yang diciptakan Ki Ageng Suryamentaram ini tak berbeda dari istilah "budi" yang dipakai R. Ng. Ranggawarsita, filsuf besar Jawa pendahulunya.

Buku anggitan Abdurrahman el-Ashiy ini sangat menarik. Ia membandingkan ajaran Ki Ageng Suryamentaram dengan filsafat wujud Mulla Sadra al-Ghazali dan ilmu hikmah Ibnu Athaillah. "Filsafat rasa" Ki Ageng Suryamentaram menuturkan dengan lembut konsepsi eksistensi manusia dengan refleksi diri untuk toleransi kemanusiaan.

Filsafat rasa inilah yang perlu dijadikan referensi untuk menggali etika dan moral manusia Indonesia yang sedang tersandera oleh gemerlap materi dan konflik politik yang tak berujung.

Oleh: Munawir Aziz, Nominator beasiswa unggulan bidang riset Kemendikbud, mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Sabtu, 07 September 2013

Dari Ki Ageng Suryomentaram untuk Generasi Muda

Tawaran untuk Para Remaja

Kami orang-orang yang sudah tua ini umumnya mempunyai tabiat buruk. Sudah semestinya jika para remaja mengevaluasi dengan kritis. Hampir tiap hari kami bersitegang dan berselisih dengan istri, anak, saudara, tetangga, golongan lain, orang-orang yang beragama lain, bangsa lain, dan sebagainya. Selama siang dan malam kami tak henti-hentinya saling bermusuhan, dan baru akan berhenti di saat tidur. Bahkan di dalam tidur, kami masih juga sering mimpi bertengkar.

Penyebab perselisihan kami para orang tua adalah karena kami suka berebut. Kami saling memperebutkan benda-benda untuk menutupi diri kami supaya tidak terlihat dengan telanjang oleh orang lain, juga oleh diri kami sendiri. Benda-benda yang kami perebutkan itu hanyalah untuk menutupi diri kami, dari penglihatan orang lain dan diri kami sendiri.

Misalnya kami tengah mengenakan pakaian bermerk, mobil bermerk, dan baru saja membeli sebuah rumah atau apartemen di kawasan elit, maka kami pun lantas berjalan tegak di hadapan orang banyak dengan perasaan bangga, karena merasa diri kami telah menjadi elit dan bermerk sebagaimana pakaian yang kami kenakan atau barang-barang yang baru saja kami beli.

Setiap kali kami berpapasan dengan kolega kami, tanpa mereka minta kami akan bercerita bahwa mobil kami baru, keluaran terbaru dari pabrik anu, sehingga anu, dan menjadi paling anu, sembari merasa bahwa diri kami juga turut menjadi baru dan keren seperti citra mobil baru itu. Padahal kami sebagai pribadi samasekali tak pernah baru. Bahkan ketika kami berganti “agama baru” sekalipun, kami tidak pernah bisa menjadi baru.

Karena hati kami demikian gelap, maka kami tak kunjung dapat menyadari diri kami sendiri. Ketika kami memilih ideologi baru, isme baru, komunitas baru, bahkan spiritualitas yang kami anggap baru, sesungguhnya kami hanya menjadikannya sebagai kebanggaan semata.

Meski dalam hati, kami merasa sudah selaras dengan ideologi dan spiritualitas baru kami. Kami juga merasa sudah dapat bersetiakawan, setidaknya dengan orang-orang dalam komunitas baru kami, namun dalam praktiknya kami tetap hoby bertengkar. Bahkan spiritualitas baru kami pun kami jadikan sebagai sarana alat pertengkaran.

Begitu pula ideologi baru kami. Kami jadikan sebagai sarana untuk bermusuhan dengan golongan lain, bahkan dengan bangsa lain.

Begitulah keadaan kami yang sesungguhnya, wahai para remaja. Masing-masing kami tidak ada yang memiliki kesediaan untuk merasa sama dan setara dengan orang lain. Jadi perselisihan di antara kami sebenarnya adalah ekspresi penolakan kami terhadap kebersamaan dan kesetaraan. Namun secara culas kami membungkus semua itu dengan berbagai doktrin, isme-isme, bahkan dengan ajaran agama serta spiritualitasnya.

Tentu saja kami tidak pernah sungguh-sungguh mendalami spirit dalam agama-agama kami, wahai para remaja... Karena jika kami sampai dapat memahami spirit dalam agama-agama kami, tentunya kami akan dapat melihat dengan jelas berbagai keburukan yang terus kami pelihara di dalam hati kami. Jadi mata batin kami memang tidak pernah terbuka, wahai para remaja.

Sekarang kalian semua telah mengetahui betapa buruknya hati kami. Kami telah sedemikian serakah terhadap harta benda, kedudukan, serta kekuasaan, sehingga kami senantiasa berebut di antara kami sendiri. Padahal kalian sudah paham bukan? Bahwa masyarakat terbentuk karena adanya hubungan antar pribadi. Sebagai pribadi-pribadi kami masih terus-menerus berebut.

Itu berarti masyarakat yang telah kami bentuk adalah masyarakat bobrok.

Jika kalian sudah memahami bahwa masyarakat yang terdiri dari kami orang-orang tua ini telah bobrok, maka kalian mestinya dapat memperbaharuinya. Atau, kalau belum mampu melakukan pembaruan, setidaknya kalian tidak ikut-ikutan seperti kami yang sudah kolot dan jadul ini. Itulah tawaran dari kami orang-orang tua yang telah bobrok ini, Wahai Para Remaja.

Manusia sesungguhnya mengalami revolusi  semenjak dilahirkan hingga tumbuh dewasa.

Setelah berkeluarga revolusi manusia seakan terhenti. Karena manusia mulai menyesuaikan diri dengan masyarakat yang telah bobrok, dan kemudian ikut-ikutan menjadi bobrok. Jadi ketika para remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang ada sekarang ini, berarti secara tidak langsung telah berkeinginan untuk ma’mum menjadi bobrok.

Setelah kalian berkeluarga nanti, kalian pasti akan segera dibujuk orang-orang tua untuk turut aktif berpartisipasi guna memperkokoh masyarakat yang sudah bobrok.

Awalnya mungkin kalian hanya diundang untuk menghadiri berbagai perjamuan yang mereka adakan. Namun jika kalian tidak ngeh dan waspada, maka kalian akan segera mereka ajak untuk berebutan dalam pesta keserakahan yang tiada akhirnya.***


*) Diambil dari Puncak Makrifat Jawa (Nourabooks 2012, halaman 368-371.)

Kamis, 10 Januari 2013

Resume Bedah Buku Puncak Makrifat Jawa

Oleh: Kliwonullah Chumaidi

Buku Puncak Makrifat Jawa yang diterbitkan oleh Noura Books (Mizan Group) pada tahun 2012 ini di-launching dan dibedah pertama kali di gedung PBNU Jakarta oleh Budayawan Radhar Panca Dahana, yang juga telah menyempatkan diri memberikan pengantar di sela-sela kesibukannya yang sangat padat.

Radhar menyambut baik penerbitan buku ini dan secara khusus memberikan apresiasi yang mendalam terhadap penulisnya. Menurutnya, penulis buku ini sangat mengesankan. Karena si penulis dengan cukup tekun mendalami salah satu inti kebudayaan Nusantara, yaitu Jawa yang masih terbuka untuk dipahami dengan lebih tekun lagi.

Di tengah anak-anak muda lain yang berkecenderungan menulis segala sesuatu yang mencla-mencle, atau paling top hanya melahirkan buku-buku how to. Itu baru dari segi kerja si penulis.
Dari segi kontennya menurut Radhar, buku yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini bukan hanya penting bagi orang Jawa, tapi juga penting bagi bangsa Indonesia. Karena ia turut mengidentifikasi salah satu anasir kebudayaan yang menurutnya menjadi salah satu problem solver dari persoalan-persoalan kekinian yang dihadapi bangsa ini.

Di luar dugaan, ketika buku ini dibedah kembali di gedung PP Muhammadiyah Jakarta tanggal 5 Desember 2012, juga mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi dari Fahd Djibran, cendikiawan muda Muhammadiyah yang kini menjadi salah seorang peneliti di LIPI.

Menurutnya buku Puncak Makrifat Jawa merupakan sebuah bentuk kerja intlektual yang serius dan tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Djibran yang telah membaca buku ini dari halaman pertama hingga terakhir, menemukan banyak hal di dalamnya. Tentu saja, sebagai seorang peneliti yang selalu berusaha melihat segala sesuatu secara objektif, Djibran juga menyampaikan kritiknya terhadap buku ini.

Sebelum menyampaikan apresiasi dan kritiknya, Djibran terlebih dahulu memperkenalkan diri sebagai generasi muda Muhammadiyah yang menempuh pendidikan formal sejak SMP hingga Universitas di lingkungan Muhammadiyah. Baginya, kemuhammadiyahan adalah sesuatu yang telah mendarah daging.

Namun, karena di sisi lain Djibran juga membaca sejarah lain dan juga belajar perspektif sejarah, ia menjadi bertanya-tanya. Bahkan curiga, jangan-jangan sejarah Muhammadiyah dalam kemuhammadiyahan itu telah mengalami banyak masalah.
Termasuk absennya nilai-nilai spiritualitas essoteris. Menurut Djibran, tidak mungkin satu gerakan Islam tidak memiliki nilai-nilai itu. Namun pada kenyataannya, dalam kemuhammadiyahan yang telah ia pahami secara mendalam, nilai-nilai spiritualitas makrifat tidak ia temukan.

Setengah berkelakar Djibran berkata, “Rupanya butuh waktu satu abad, hari ini kita memanggil pulang Ki Ageng Suryomentaram.”
Dan ia menegaskan, “Ya, akhirnya saya menemukan missing link itu. Ternyata sisi-sisi eskatologis, sisi-sisi essoterisme Kyai Ahmad Dahlan itu sebetulnya ada dalam Ki Ageng Suryomentaram. Jadi, kalau mau belajar Muhammadiyah, memang mesti belajar dari kemuhammadiyahan. Tetapi bagaimana memahami pemahaman Islam KH. Ahmad Dahlan—dari yang paling sepele sampai yang paling serius, sampai yang paling hakiki—harus membaca Ki Ageng Suryomentaram.”

Kesimpulan Djibran di atas didasarkan pada fakta sejarah bahwa Ki Ageng Suryomentaram adalah satu-satunya murid adzdzukarrah-nya Kyai Ahmad Dahlan. Yaitu murid yang belajar langsung dengan lutut ketemu lutut.

Kyai Ahmad Dahlan adalah Katib Amin di Masjid Kauman, dan Ki Ageng Suryomentaram adalah salah seorang putra Hamengku Buwono VII. Sesuai dengan data-data yang ditemukannya, Djibran menyimpulkan bahwa Ki Ageng Suryomentaram adalah satu-satunya murid kinasih Kyai Ahmad Dahlan (Ngabdul Darwis) yang terkait dengan kemakrifatan dan semacamnya.

Setelah mendedah tentang risetnya bersama tim ahli selama sekitar 6 tahun tentang kebudayaan Jawa dari candi ke candi mulai Yogyakarta ke Surabaya hingga Banyuwangi, di mana ia mempertanyakan banyak hal yang berbeda secara diametral dengan kesimpulan para peneliti kejawaan sebelumnya seperti Mark R Woodward, Clifford Geertz, dan Dennis Lombard.

Djibran menyampaikan kritiknya terhadap buku Puncak Makrifat Jawa, yang menurutnya ditulis dengan cara yang personal dan perlu diperkuat lagi dengan metodologi riset tentang sejarah serta cara penulisannya agar buku ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam merekonstruksi “sejarah yang hilang” tentang Islam di tanah Jawa khususnya dan di Nusantara pada umumnya.
Hal lain yang tidak disetujui oleh Djibran adalah ketika seolah-olah penulis buku Puncak Makrifat Jawa ini menyejajarkan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dengan corak filsafat Timur Tengah yang sesungguhnya sangat berbeda. Filsafat Nusantara menurut Djibran selalu menitikberatkan tentang mikrokosmos, sementara filsafat Timur Tengah lebih terfokus pada makro kosmos.

Namun terlepas dari kekurangannya tersebut, Djibran sangat mengapresiasi buku Puncak Makrifat Jawa yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini sebagai sebuah buku yang luar biasa.

Ia menegaskan, “Ini belum sempurna, tetapi kalau kita sama-sama mendukung ini, ini akan menjadi temuan yang luar biasa. Bukan hanya bagi keluarga Ki Ageng Suryomentaram, tapi juga bermanfaat bagi Muhammadiyah. Bukan hanya bermanfaat bagi Nusantara, tapi juga bagi peradaban dunia.”

Sebelum menutup diskusi, sebagai pribadi yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, Djibran menyampaikan rasa terimakasihnya yang mendalam terhadap Nahdlatul Ulama yang telah menjaga dan melestarikan tradisi Islam Nusantara.

Sementara itu ketika buku ini dibedah di Universitas Indonesia tanggal 20 Desember 2013 atas inisiatif para mahasiswa dari Fakultas Sastra Jawa, KRT. Dr. Sajidi Hadipoetro Husadaningrat yang merupakan staf pengajar pascasarjana Fakultas Kedokteran UI juga menyampaikan apresiasinya yang cukup mendalam.

Dr. Sajidi yang mengenal secara pribadi penulisnya lebih dari sepuluh tahun lamanya, menegaskan bahwa buku Puncak Makrifat Jawa sebagai karya tulis telah memenuhi persyaratan yang diistilahkannya sebagai FINER. Yaitu Fisibility atau penguasaan terhadap obyek yang ditulis, Intresting atau pencurahan kegelisahan sebagai upaya untuk menemukan jalan keluar, Novelty atau mengandung sesuatu yang baru, Educate atau memiliki unsur pendidikan, dan Relevance atau mempunyai keterkaitan dengan persoalan kekinian.

Adapun Dr. Muhammad Hikam, Ketua Program Vokasi UI, selain mengapresiasi kehadiran buku Puncak Makrifat Jawa ini juga menyampaikan kritiknya sebagaimana Dr. Sajidi, bahwa gaya penulisan buku ini memang agak berbeda dengan buku-buku lain pada umumnya di mana susunan bab per babnya terkesan tumpang tindih, atau tepatnya tidak sistematis dalam bahasa akademisnya.

Semula, sebagai doktor yang biasa menguji tesis S3, S2, dan S1, Dr. Hikam seperti biasa membaca dahulu mukadimah dan langsung ke kesimpulan buku ini. “Namun saya malah pusing sendiri. Ini barangkali pancingan dari penulisnya agar saya membaca semuanya,” demikian komentarnya.

Menanggapi kritik dari semua pembedah bukunya, Muhaji Fikriono mengakui dengan terus terang bahwa dirinya memang tidak memiliki kompetensi untuk menulis buku-buku akademis.
“Benar, saya memang belum memiliki bekal yang cukup untuk dapat menulis buku yang akademis. Tapi Insya Allah buku-buku saya akan tetap dapat memberikan manfaat karena saya menuliskannya dengan sepenuh rasa yang ada pada diri saya. Yaitu rasa sama sebagai salah seorang manusia,” demikian penegasan penulis buku Puncak Makrifat Jawa.
                                                                                                           
Ujung Berung, 9 Januari 2013.