Tawaran untuk Para Remaja
Kami orang-orang yang sudah tua ini umumnya mempunyai tabiat buruk. Sudah semestinya jika para remaja mengevaluasi dengan kritis. Hampir tiap hari kami bersitegang dan berselisih dengan istri, anak, saudara, tetangga, golongan lain, orang-orang yang beragama lain, bangsa lain, dan sebagainya. Selama siang dan malam kami tak henti-hentinya saling bermusuhan, dan baru akan berhenti di saat tidur. Bahkan di dalam tidur, kami masih juga sering mimpi bertengkar.
Penyebab perselisihan kami para orang tua adalah karena kami suka berebut. Kami saling memperebutkan benda-benda untuk menutupi diri kami supaya tidak terlihat dengan telanjang oleh orang lain, juga oleh diri kami sendiri. Benda-benda yang kami perebutkan itu hanyalah untuk menutupi diri kami, dari penglihatan orang lain dan diri kami sendiri.
Misalnya kami tengah mengenakan pakaian bermerk, mobil bermerk, dan baru saja membeli sebuah rumah atau apartemen di kawasan elit, maka kami pun lantas berjalan tegak di hadapan orang banyak dengan perasaan bangga, karena merasa diri kami telah menjadi elit dan bermerk sebagaimana pakaian yang kami kenakan atau barang-barang yang baru saja kami beli.
Setiap kali kami berpapasan dengan kolega kami, tanpa mereka minta kami akan bercerita bahwa mobil kami baru, keluaran terbaru dari pabrik anu, sehingga anu, dan menjadi paling anu, sembari merasa bahwa diri kami juga turut menjadi baru dan keren seperti citra mobil baru itu. Padahal kami sebagai pribadi samasekali tak pernah baru. Bahkan ketika kami berganti “agama baru” sekalipun, kami tidak pernah bisa menjadi baru.
Karena hati kami demikian gelap, maka kami tak kunjung dapat menyadari diri kami sendiri. Ketika kami memilih ideologi baru, isme baru, komunitas baru, bahkan spiritualitas yang kami anggap baru, sesungguhnya kami hanya menjadikannya sebagai kebanggaan semata.
Meski dalam hati, kami merasa sudah selaras dengan ideologi dan spiritualitas baru kami. Kami juga merasa sudah dapat bersetiakawan, setidaknya dengan orang-orang dalam komunitas baru kami, namun dalam praktiknya kami tetap hoby bertengkar. Bahkan spiritualitas baru kami pun kami jadikan sebagai sarana alat pertengkaran.
Begitu pula ideologi baru kami. Kami jadikan sebagai sarana untuk bermusuhan dengan golongan lain, bahkan dengan bangsa lain.
Begitulah keadaan kami yang sesungguhnya, wahai para remaja. Masing-masing kami tidak ada yang memiliki kesediaan untuk merasa sama dan setara dengan orang lain. Jadi perselisihan di antara kami sebenarnya adalah ekspresi penolakan kami terhadap kebersamaan dan kesetaraan. Namun secara culas kami membungkus semua itu dengan berbagai doktrin, isme-isme, bahkan dengan ajaran agama serta spiritualitasnya.
Tentu saja kami tidak pernah sungguh-sungguh mendalami spirit dalam agama-agama kami, wahai para remaja... Karena jika kami sampai dapat memahami spirit dalam agama-agama kami, tentunya kami akan dapat melihat dengan jelas berbagai keburukan yang terus kami pelihara di dalam hati kami. Jadi mata batin kami memang tidak pernah terbuka, wahai para remaja.
Sekarang kalian semua telah mengetahui betapa buruknya hati kami. Kami telah sedemikian serakah terhadap harta benda, kedudukan, serta kekuasaan, sehingga kami senantiasa berebut di antara kami sendiri. Padahal kalian sudah paham bukan? Bahwa masyarakat terbentuk karena adanya hubungan antar pribadi. Sebagai pribadi-pribadi kami masih terus-menerus berebut.
Itu berarti masyarakat yang telah kami bentuk adalah masyarakat bobrok.
Jika kalian sudah memahami bahwa masyarakat yang terdiri dari kami orang-orang tua ini telah bobrok, maka kalian mestinya dapat memperbaharuinya. Atau, kalau belum mampu melakukan pembaruan, setidaknya kalian tidak ikut-ikutan seperti kami yang sudah kolot dan jadul ini. Itulah tawaran dari kami orang-orang tua yang telah bobrok ini, Wahai Para Remaja.
Manusia sesungguhnya mengalami revolusi semenjak dilahirkan hingga tumbuh dewasa.
Setelah berkeluarga revolusi manusia seakan terhenti. Karena manusia mulai menyesuaikan diri dengan masyarakat yang telah bobrok, dan kemudian ikut-ikutan menjadi bobrok. Jadi ketika para remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang ada sekarang ini, berarti secara tidak langsung telah berkeinginan untuk ma’mum menjadi bobrok.
Setelah kalian berkeluarga nanti, kalian pasti akan segera dibujuk orang-orang tua untuk turut aktif berpartisipasi guna memperkokoh masyarakat yang sudah bobrok.
Awalnya mungkin kalian hanya diundang untuk menghadiri berbagai perjamuan yang mereka adakan. Namun jika kalian tidak ngeh dan waspada, maka kalian akan segera mereka ajak untuk berebutan dalam pesta keserakahan yang tiada akhirnya.***
*) Diambil dari Puncak Makrifat Jawa (Nourabooks 2012, halaman 368-371.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar