“Man’ arafa nafsahu faqad’arafa Rabbahu” Orang yang telah memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya.
Terlebih, bagi masyarakat yang hidup di sekitar keraton warisan budaya tersebut selalu di pertahankan secara turun- temurun. Lantas, menjadi penanda identitas bagi masyarakat Jawa secara keseluruhan.
Menurut Rasyidi,(1996) orang Jawa memiliki falsafah aliran kebatinan tersendiri yakni, “Sepi ing Pamrih, rame ing gawe” dan ikut “memayu hayuning Bawana”.
Maksudnya, banyak bekerja bhakti tanpa mementingkan keuntungan pribadi dan ikut membentuk dunia yang indah dan makmur. Ironisnya, kini ajaran-ajaran kearifan lokal justeru semakin kehilangan makna di hati masyarakat “jawa” modern.
Bila kita telusuri, di Jawa banyak sekali warisan agung mengenai ajaran kearifan lokal yang sudah mapan. Misalnya, Serat Dewa Ruci, Suluk Gatholoco, Suluk Darmogandhul, Serat Syeh Siti Jenar, dan Serat Wirid Hidayat Jati Raya untuk di pelajari generasi selanjutnya.
Ironisnya, semua itu kini kurang diminati. Tentu, ada berbagai persoalan yang menjadi penyebab ketidakpedulian masyarakat Jawa modern terhadap tradisi para leluhurnya.
Penyebabnya adalah masyarakat Jawa modern sudah banyak yang terkontaminasi dengan budaya modern. Yang sedikit banyak justeru mendorong manusia mengejar materi ketimbang mencari jati diri. Akhirnya, tidak sedikit dari masyarakat modern krisis spiritual.
Buku “Makrifat Jawa Untuk Semua”ini, hendak memperkenalkan salah satu khazanah kearifan lokal “tasawuf” yang pernah membumi di tanah Jawa kepada kita. Yaitu, ajaran ki Ageng Suryamentaram dari Ngayogyakarto. Ada tiga pembahasan makrifat Jawa yang di ulas oleh Abdurrahman Asiy di buku ini, yakni Relasi Takdir Tuhan dan Pilihan Bebas Manusia, Cinta Kuasa Manusia, Makrifat.
Ketiganya, merupakan mutiara yang penuh makna. Baik di tinjau dari kajian filsafat maupun tasawuf.
Diakui maupun tidak, manusia sebagai makhluk pencari makna kerap jatuh putus asa dan mencari berbagai cara untuk mencari alternatif supaya dapat menenangkan bathinnya. Terlebih bagi kita yang hidup di zaman seperti sekarang ini, banyak gejolak bathin yang tak mampu di selesaikannya. Bahkan, masyarakat di Barat sendiri untuk mencari jati dirinya banyak melakukan berbagai meditasi.
Kembali ke ajaran ma’rifat Jawa, menurut Ki Ageng, manusia dapat mempelajari atau mengetahui segala sesuatu melalui tiga macam perangkat dalam diri.
Pertama, melalui panca indera yakni, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Kedua, melalui rasa hati, rasa yang merasa aku, merasa ada, senang, dan susah. Ketiga, melalui pengertian atau pemahaman yang berguna untuk menentukan suatu hal yang berasal dari pancaindera dan perasaan. Dengan menjadikan diri sebagai “pengawilan pribadi”objek, kita dapat mempelajari manusia secara keseluruhan. (hal,52)
Ajaran tasawuf Ki Ageng Suryomentaram ini, dapat menjadi resep mujarab bagi kita dalam kehidupan yang universal. Serta, mendorong diri kita untuk menghadapi apa yang saat ini terjadi dengan mengedepankan keluhuran kemanusiaan.
Abdurrahman El Ashiy memberikan tips kepada kita untuk menempa diri(yang di ambil dari ajaran Ki Ageng). Pertama, mengamati dan meneliti rasa bathin kita yang muncul serta bertanya dan menjawabnya dengan jujur.
Kedua, membangkitkan kesadaran sejati”aku sejati” supaya senatiasa menjadi subjek dalam menghayati kehidupan dengan penuh kesabaran dan memiliki keberanian menghadapi kenyataan hidup. Ketiga, mengambil keputusan atau menentukan sikap atau tindakan berdasarkan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dengan meng kritik nilai-nilai yang kita yakini.
Buku ini, membantu kita memahami ajaran kearifan lokal yang sudah pernah membumi di tanah Jawa. Apalagi di tengah absennya masyarakat Jawa “modern” yang kini banyak tidak tertarik akan ajaran kearifan lokal. Penting kiranya, menggali khazanah warisan agung para leluhur kita untuk dipelajari.
Menurut saya, kehadiran buku ini amat tepat.
Memahami makrifat Jawa sebagai upaya memupuk jiwa kita menjadi penting. Dan, menjadi alat control bagi kita untuk menyingkirkan sikap egoisme, keserakahan, dan keasyikan pada dunia. Tak pelak, buku ini bisa menghantarkan seseorang yang berminat untuk menemukan arti hidup dengan ajaran tasawuf.
*)Ahmad Faozan, Ketua Himasakti (Himpunan Mahasiswa Santri Alumni Keluarga Tebuireng) Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar