Ulasan buku oleh: Hartono Rakiman, Pengasuh Rumah Baca.
Ada untungnya saya dilahirkan sebagai orang Jawa, ketika membaca buku “Makrifat Jawa,” karya Abdurrahman El ‘Ashiy (Serambi: 2011). Mungkin agak sedikit sulit bagi pembaca non Jawa untuk memahami buku ini, meskipun di sampul depan ada tulisan yang menyebutkan “Makrifat Jawa Untuk Semua.”
Pada sampul belakang buku disebutkan bahwa sebelum Islam datang, Jawa telah memiliki ajaran-ajaran kearifan yang mapan. Kehadiran Islam tidak menghapus kearifan-kearifan itu, tapi justru menyempurnakannya.
Orang Jawa sangat terbuka terhadap keyakinan dan semua agama, terutama Islam. Namun, mereka tidak mau ketika harus ”diarabkan.” Sebagaimana mereka juga menolak mati-matian saat hendak ”dibelandakan” atau ”diinggriskan.”
Melalui buku ini, sang penulis, Abdurrahaman El ’Ashiy, yang bernama asli Muhaji Fikriono, mencoba mendaratkan ajaran makrifat Jawa ini ke dalam dialog personal dengan pembaca. Menceritakan siapa Ki Ageng Suryomentaram, sang penemu rumusan ”Kawruh Begja” (ilmu bahagia). Sekaligus menceritakan siapa sang penulis sendiri pada awal sebelum mengenal karya-karya Ki Ageng Suryomentaram.
Ki Ageng Suryomentaram adalah pelatak dasar ilmu kejawen ”Kawruh Begja,” yang berhasil menyedarhanakan realitas kehidupan dengan kondisi yang dihadapai sosok manusia sehari-hari.
Dia adalah B.R.M. Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sultan Hamengku Buwono VII. Konsepnya adalah ”saiki, ngene, neng kene” (sekarang, seperti ini, di sini).
Menurut Ki Ageng Suryomentaram, tak perlulah otak manusia dijejali dengan pemikiran atau kawruh yang berada di luar pengetahuan atau pengalaman manusia sehari-hari. Konsep ini lebih berifat personal, refleksi ke dalam diri setiap manusia.
Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan Krisnamurti (self knowldge: pengetahuan tentang diri sendiri), Zarathustra (Tat Tvam Asi: itulah engkau), atau Sokrates (Gnothi Seauton: kenalilah dirimu). Dalam khasanah Islam juga ada, seperti disampaikan oleh Ali bin Abu Thalib (Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu: orang yang memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya).
Menjelaskan sesuatu di luar akal manusia, menurut Ki Ageng adalah cara berfikir manusia yang sok tahu, padahal tidak tahu. Seperti yang telah ada selama ini, dengan lahirnya ilmu-ilmu filsafat yang mencoba mengupas fenomea di luar akal, metafisika, asal dan akhir dunia. Padahal mengakui atau menyadari bahwa tidak tahu itu sebenarnya adalah inti dari ilmu “Kawruh Bagja” itu.
Tahu itu ada batasnya. Di luar itu adalah tidak tahu.
Maka yang paling penting adalah menyadari keberadaan diri senediri, menyelami apa yang terjadi dalam diri. Ada proses refleksi diri. Maka yang perlu dipahami adalah tiga hal tadi (saiki, ngene, neng kene). Sama halnya dengan ungkapan yang mengatakan “yesterday is a memory, tomorrow is a mystery, today is a gift.”
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, today atau hari ini adalah sesuatu yang harus dilalui dan dinikmati sebagai sebuah karunia Illahi. Ilmu bahagia itu akan ketemu kalau meletakkan sesuatu apa adanya. Terlalu tinggi menaruh keinginan atau harapan-harapan akan membuat hati tidak bahagia dan kosong.
Buku ini menurut saya menjadi unik karena ditulis oleh seseorang yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di lingkungan pesantren. Yang setiap harinya belajar Al Qur’an, kitab kuning, belajar sorogan, di bawah bimbingan ustad. Hidup dalam garis kemiskinan yang hampir membuatnya protes kepada Tuhan, yang menurutnya tidak adil.
Hingga pada suatu ketika sang penulis menemukan buku ajaran Ki Ageng Suryomentaraman di toko buku Gunung Agung Kwitang, yang waktu itu seharga Rp. 150 untuk setiap buku. Mulai dari sana ajaran itu telah merubah hidupnya secara drastis. Terutama dalam hal memandang kehidupan. Dari sanalah, sekian tahun kemudian sang penulis membeberkan dalam buku ”Makrifat Jawa” ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar