Filsafat Jawa menyimpan lapisan-lapisan ilmu pengetahuan tentang moral, etika, hingga pengetahuan tentang "rasa". Filsuf dan begawan Jawa telah memberi kabar tentang masa depan, ilmu kemanusiaan, politik kuasa, hingga hubungan dengan alam dan Tuhan. Kisah-kisah kebatinan Jawa telah ditulis Ranggawarsita, Puradisastra, hingga Suryamentaram. Dan, nama terakhir inilah yang merupakan pangeran keraton yang menulis syair dan rahasia kemanusiaan.
Buku karya Abdurrahman el-Ashiy ini mengungkap biografi intelektual dan pandangan filsafat Ki Ageng Suryamentaram. Tokoh yang dibahas dalam buku ini merupakan filsuf Jawa yang hidup pada abad ke- 21. Ia ahli waris trah Keraton Ngayogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono VII, tapi menolak sebagai pangeran agar mampu hidup damai dan menemukan kebahagiaan sejati.
Ia lahir pada 20 Mei 1892 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Ibundanya, Bendara Raden Ayu Retnomandoyo, adalah putri patih Danurejo VI yang bergelar Pangeran Cakraningrat. Pada usia 18 tahun, Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryamentaram.
Namun penganugerahan ini justru menggelisahkannya. Kesedihannya memuncak tatkala kakeknya, Pangeran Cakraningrat, diberhentikan dari jabatan patih dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan ibundanya diceraikan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Istri yang dicintainya pun wafat ketika anaknya baru berusia 40 hari.
Berbagai peristiwa tragis yang menimpa sang pangeran itu membuatnya sedih dan frustrasi. Ia lalu mengajukan pengunduran diri sebagai pangeran dan ingin pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk menenangkan diri. Tapi permintaan itu ditolak ayahnya. Keinginan itu baru dikabulkan Sultan Hamengku Buwono VIII. Kemudian ia pindah ke daerah Bringin di Salatiga.
Nama Ki Ageng Suryamentaram adalah pemberian sahabatnya, Ki Hadjar Dewantara. Mereka sering berdiskusi tentang masalah kehidupan manusia, situasi keindonesiaan, serta penjajahan Belanda dan Jepang.
Perenungannya tentang kehidupan dan pengalaman pribadinya kemudian menggumpal dalam satu ajaran tentang kearifan yang disebutnya kramadangsa. Ia menggunakan dirinya sendiri untuk bereksperimen, semisal menyeberangi sungai banjir dan kemudian hampir meninggal. Ia menggunakan pengalaman itu sebagai cara untuk mengetahui kedalaman batinnya.
Ki Ageng menuturkan, "Dalam diri setiap manusia terdapat pencatat atau perekam yang merekam berbagai keadaan dan peristiwa. Rekaman-rekaman itu awalnya tersusun secara acak, tapi kemudian terorganisasi sesuai corak dan jenisnya. Berbagai rekaman yang masih acak itulah yang kemudian melahirkan rasa kramadangsa, yaitu rasa keakuan atau ego, yang kemudian tumbuh sebagai pemikir yang mendominasi ruang rasa kita" (halaman 58).
Kradamangsa alias "filsafat rasa" inilah yang menggerakkan batin, imajinasi, dan intuisi seseorang. Ki Ageng Suryamentaram mengklasifikasi benda-benda yang ada di alam semesta ini menjadi empat macam, dari benda berdimensi tunggal hingga yang berdimensi empat. Dan keempat jenis wujud benda itu tercakup dalam diri manusia.
Menurut Ki Ageng, dalam tahap keempat inilah, manusia menemukan makna sejati, yakni dapat mengetahui diri sendiri, merasakan emosi orang lain, hingga akan timbul kebijaksanaan. Istilah "ukuran keempat" yang diciptakan Ki Ageng Suryamentaram ini tak berbeda dari istilah "budi" yang dipakai R. Ng. Ranggawarsita, filsuf besar Jawa pendahulunya.
Buku anggitan Abdurrahman el-Ashiy ini sangat menarik. Ia membandingkan ajaran Ki Ageng Suryamentaram dengan filsafat wujud Mulla Sadra al-Ghazali dan ilmu hikmah Ibnu Athaillah. "Filsafat rasa" Ki Ageng Suryamentaram menuturkan dengan lembut konsepsi eksistensi manusia dengan refleksi diri untuk toleransi kemanusiaan.
Filsafat rasa inilah yang perlu dijadikan referensi untuk menggali etika dan moral manusia Indonesia yang sedang tersandera oleh gemerlap materi dan konflik politik yang tak berujung.
Oleh: Munawir Aziz, Nominator beasiswa unggulan bidang riset Kemendikbud, mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar