Kamis, 19 September 2013

RESENSI BUKU "MAKRIFAT JAWA UNTUK SEMUA"

Buku MAKRIFAT JAWA UNTUK SEMUA yang ditulis oleh Abdurrahman El-‘Ashiy adalah buku tentang kearifan Jawa yang "ngepop" dan popular yang disarikan dari buah pemikiran dan pengalaman religius dan mistik Ki Ageng Suryomentaram. Penulis mengakui bahwa ia pernah terpuruk dalam hidupnya sehingga memprotes Tuhan karena merasa telah diperlakukan tidak adil, namun kebersahajaan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan nasihat kebapakannya mampu mendinginkan didih hatinya dan pergolakan jiwanya.

Penulis yakin bahwa banyak orang lain yang memiliki problem yang sama dan gagasan sederhana tapi tetap "bergizi" Ki Ageng akan mampu menyadarkan setiap orang dan membangkitkan semangat untuk tetap survive menjalani kehidupan dan bersyukur atas karunia Ilahi.

Pangeran Suryomentaram mengalami gejolak diri saat ia duduk sebagai pejabat publik. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hatinya. Ia merasa setiap saat hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, dan yang dimintai. Dia tidak puas dengan semua itu karena merasa tidak pernah bertemu "orang" (manusia sejati).

Di lingkungan keraton, dia hanya menemukan sembah, perintah, marah, minta, dan tidak pernah bertemu dengan "orang". Inilah titik tolak penggembaraan spiritual Sang Matahari Jawa yang kemudian berujung pada penemuan diri yang hilang setelah kurang lebih 40 tahun, Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan.

Aspek yang menarik lainnya dari kehidupan Ki Ageng adalah meskipun beliau serius mendalami jiwanya dan menghabiskan banyak waktu di bidang ini, namun di sisi lain beliau sangat memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan berpikir keras untuk memajukan bangsa dan tanah airnya.

Ki Ageng tidak hanya berpikir mentransformasi dirinya namun ia juga beraksi untuk menciptakan perubahan di tengah masyarakat.

Hal ini tampak pada kepeduliannya terhadap pendidikan dan perjuangan kemerdekaan. Saat perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata.

Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu, akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan kepada para pemuda, melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada 1992 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa.

Jalan pikiran Ki Ageng Suryomentaram mirip dengan J. Krishnamurti dari India (1895-1986 M), Zarathustra dari Persia (abad ke 7-6 SM), dan Sokrates dari Yunani (469-399 SM). Khrisnamurti mendasarkan ajarannya pada pengetahuan tentang diri sendiri (self knowledge), yang kurang lebih sama dengan Ki Ageng yang mendasarkan ajarannya pada pemahaman atas dirinya sendiri (pengawikan pribadi).

Zarathustra juga pernah mengemukakan ajaran Tat Tvam Asi! (Itulah Engkau!), sedangkan Sokrates di kota Athena mengemukakan ajaran yang bertema Gnothi seauton! (Kenalilah Dirimu!). dan kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa keempat tokoh di atas sesungguhnya adalah orang-orang yang telah mencapai makrifat.

Ya, karena secara umum Ali bin Abu Thalib mendefinisikan makrifat sebagai, "Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu!" orang yang telah memahami dirinya otomatis makrifat kepada Tuhannya!

Ki Ageng adalah tokoh sentral atau Guru Utama "aliran kebatinan" kawuh begja (pengetahuan tentang bahagia) atau karwuh jiwa (pengetahuan tentang jiwa). Aliran ini terinspirasi dari aliran kebatinan Jawa, Sumarah yang berarti pasrah atau berserah.

Dalam komunitas Kawruh begja terdapat aktivitas yang cukup penting, yaitu studi tentang diri sendiri guna mendapatkan pengetahuan tentang diri sendiri. Kegiatan ini dilaksanakan selama lima bulan. Ajaran-ajaran dalam Kawruh begja pada pokoknya bukanlah ajaran-ajaran rahasia. Para pengkaji "aliran" ini selalu terbuka untuk berdiskusi atau mendiskusikan ajaran mereka.

Penulis sangat takjub akan kejeniusan sekaligus kearifan Ki Ageng. Pembahasan tentang jiwa, misalnya, yang sedemikian rumit dalam literatur tasawuf maupun mistisme jawa, atau bahkan dalam psikologi umum, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa.

Pangawikan Pribadi atau mempelajari tentang rasa dalam diri sendiri, menurut Ki Ageng, bisa disamakan dengan mempelajari manusia dan kemanusiaan. Karena kita semua adalah bagian dari makhluk bernama manusia, maka ketika kita mempelajari rasa diri sendiri dan berhasil memahaminya dengan tepat, otomatis kita akan memahami manusia pada umumnya.

Maka, Pangawikan Pribadi itu -sarannya- mesti dimulai dari sekarang, di sini, dan dengan penuh keberanian menghadapi segala yang ada di hadapan kita secara apa adanya (saiki, ing kene, lan ngene).

Dapat disimpulkan bahwa di dalam setiap diri manusia terdapat pencatat atau perekam yang merekam pelbagai keadaan dan peristiwa. Rekaman-rekaman itu awalnya tersusun secara acak tapi kemudian terorganisasi sesuai corak dan jenisnya.

Pelbagai rekaman yang masih acak itulah yang kemudian melahirkan rasa kramadangsa, yaitu rasa keakuan atau ego, yang kemudian tumbuh sebagai pemikir yang mendominasi ruang rasa kita. Sepanjang waktu, aktifitas kramadangsa adalah memperhatikan, memikirkan, menyeleksi, mengorganisasi, dan kemudian dengan senang hati menjadikan rekaman favoritnya sebagai tuan atau majikan yang dihambanya dengan penuh kerelaan.

Bila beragam rasa yang muncul dari dalam diri kita bisa kita teliti dengan tuntas, penghalang yang berupa anggapan benar itu pun akan runtuh. Setelah hijab itu runtuh, kita pun leluasa menyaksikan kekeliruan rekaman-rekaman kita tentang segala sesuatu. Dengan demikian, keakuan si Kramadangsa yang sebelumnya selalu dominan pun tak lagi bertaji. Bersamaan dengan tak lagi berdayanya rasa kramadangsa, lahirlah rasa manusia tanpa ciri.

Manusia tanpa ciri, atau manusia yang tak lagi memerlukan ciri-ciri (atribut), adalah manusia yang penglihatan mata hatinya tak lagi terpengaruh atau terhalangi oleh pelbagai rekaman dan catatan-catatan yang memenuhi ruang rasanya. Saat itu semua rekaman dan catatannya sudah tidak lagi memerlukan perhatian pikirannya.

Sebagai hasil dari pangawikan pribadi ini, seharusnya jiwa kita menjadi sehat. Beliau sengaja membuat bagan yang provokatif bahwa manusia tanpa ciri akan memiliki jiwa sehat 100%.

Ada sebagian pemikiran Ki Ageng yang dianggap kontroversial, misalnya ia pernah dituduh tidak percaya terhadap kehidupan akhirat. Dan aliran yang dipimpinnya dicap tidak percaya kepada Tuhan dan sesuatu yang gaib. Namun penulis tegas-tegas membantah tuduhan ini.

Bagai Ki Ageng, sebagaimana kehidupan di dunia, akhirat adalah sesuatu yang niscaya, karenanya tidak perlu lagi dipikirkan atau harus digambar-gambarkan dengan pelbagai tamsil, tanda-tanda, maupun persamaan yang kekanak-kanakan.

Hal ini selaras dengan ucapan pertama imam Ali dalam 100 kalimah, "Seandainya tabir yang menutupi realitas akhirat telah terbuka, keyakinanku terhadapnya saat ini tidak akan bertambah."
Ki Ageng lebih mendahulukan "pengalaman" daripada "keyakinan". Ia senantiasa berupaya mengalami terlebih dahulu, baru kemudian percaya dan yakin. Dengan demikian komunitas Kawruh Bagja yang diasuhnya tetap terbuka pada kepercayaan terhadap Tuhan dan agama.

Bagi penulis, Ki Ageng bukan orang yang menolak konsep keagamaan dan syariat seperti kewajiban salat, namun beliau berusaha untuk lebih menonjolkan kualitas keberagamaan dan instisarinya.

Bahkan saat menjelaskan hakikat ibadah, secara luas biasa beliau memberikan resep jitu, yaitu dalam menyembah Yang Kuasa sesuai dengan jalan pikiran dan akal sehat -supaya bisa menenteramkan hati atau khusyuk dalam istilah Alquran-maka terlebih dahulu kita harus memahami: "siapa" sesungguhnya yang menyembah, "apa" yang sesungguhnya disembah, dan bagaimana "cara menyembah yang benar".

Berkaitan dengan ketiga hal tersebut, Ki Ageng menjelaskan bahwa aktivitas menyembah bukanlah naluri bawaan bagi semua orang. "tidak semua orang secara otomatis berwatak menyembah," begitu kata beliau.

Yang membuat seseorang berkecenderungan menyembah adalah ketika ia merasa hidupnya malang atau kurang beruntung menurut anggapannya.

Menurut penulis, yang dimaksudkan sebagai penyembah oleh Ki Ageng di situ adalah orang yang berwatak budak sekaligus bermental pedagang. Hakikat penyembahan kepada Allah saat seseorang menyembah-Nya hanya semata atas dasar makrifat dan cinta. Inilah ibadah yang digagas dan dikehendaki oleh Ki Ageng.

Peresensi: Syeikh Muhammad Alcaff, Pengasuh Meditasi Suluk Sunan/MS2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar